Sabtu, 01 Juni 2013

Upacara Adat Gorontalo

Adati Mo Polihu Lo Limu
Sudah menjadi adat dan tradisi di Gorontalo bahwa anak perempuan yang menjelang usia 2 tahun akan menjalani prosesi adat Mo Polihu Lo Limu atau sering juga disebut Molubingo. Mo polihu Lo Limu berasal dari bahasa daerah gorontalo, yang artinya mandi air ramuan jeruk purut atau mandi lemon, sedangkan Molubingo artinya Mencubit. Inti dari prosesi ini sebenarnya adalah mengkhitan anak perempuan yang ‘dibalut’ oleh adat tradisi religius dan budaya masyarakat Gorontalo. Mengenai istilah mandi lemon memang diadopsi dari bagian prosesi ritual, dimana seorang anak perempuan menjalani prosesi mandi kembang yang bercampur lemon atau jeruk dengan tumbuhan harum lainnya dipangkuan ibu yang melahirkan. Menurut tetua adat Gorontalo yang disebut Baate, ritual mandi lemon adalah sejenis khitanan bagi wanita, sebagai bukti keislaman seorang wanita sehingga agenda sakral tersebut yang harus dilalui oleh anak perempuan pada usia balita. Dijelaskan pula bahwa melalui ritual ini dapat diramalkan tentang masalah jodoh dan karakter dari wanita itu sendiri saat dewasa melalui petunjuk bahan alam yang digunakan seperti pelepah pinang muda yang dibelah.
Acara ini dimulai dengan pembacaan doa syalawat, sambil di pakaikan tanda di dahi (di antara alis) dengan memakai ramuan alami khas gorontalo yang berwarna orange. Dalam istilah adat gorontalo di sebut bontho oleh Imam atau Tokoh Adat kepada anak perempuan yang akan di khitan beserta kedua orang tuanya. Yang menarik di sesi ini ada ramalan jodoh dan rezeki. Potongan jeruk purut, cengkeh, buah pala dibuang kedalam loyang yang berisi air, dan posisi masing – masing buah ini mempunyai makna ramalan.
Selanjutnya masuk proses khitan. Sebelumnya anak perempuan yang akan di khitan, disucikan terlebih dahulu dengan membasuhkan air wudlu. Acara khitannya dilakukan didalam kamar. Saat dikhitan, anak perempuan didudukkan diatas bantal dipangku orang tuanya, ditutup dengan kain putih Sebenarnya khitannya cuman kayak dicubit saja, yang dikeluarkan atau dibersihkan hanya berupa selaput tipis. Bukan khitan atau sunat yang mengeluarkan darah, atau dilukai sehingga luka dan membutuhkan penyembuhannya berhari – hari. Hanya ada seperti selaput tipis yang diambil dari klitorisnya.
Setelah itu dilanjutkan dengan mandi lemon. Untuk mandi ini ritualnya sangat unik. Anak yang di khitan duduk dikursi semacam singgasana dan di pangku oleh orang tua perempuan. Tempat duduknya dihias dengan dekorasi buah-buahan, seperti pisang, nenas yang masih lengkap dengan daunnya, pohon tebu, janur kuning, bunga puring dan yang utama ada mayang (dari pohon pinang) yang terurai.
Prosesi mandi lemon ini akan disiram dengan air wangi khas yang dicampur dengan daun / buah jeruk purut, daun pandan dan ramuan lainnya yang diisi di dalam bambu kuning. Selama mandi ini ada sesi tepuk mayang (mayang yang masih terbungkus pelepahnya). Konon katanya, pelepah mayang ini akan menunjukkan karakter dari si anak. Ketika pelepah mayang di tepuk berkali – kali bahkan di pukulkan dan tak mau pecah, itu pertanda sang anak wataknya keras. Kalau anaknya lemah lembut atau lembek, ditepuk perlahan pun pelepah mayang sudah terbelah. Jika mayangnya masih muda, harum, putih dan segar, itu pertanda baik bagi kehidupan, jodoh dan rezeki sang anak.
Terus pucuk mayangnya digosokkan ke sekujur tubuh dan acara mandi lemon ini diakhiri dengan memecahkan telur ayam kampung dikedua telapak tangan anak. Telur yang telah dipecahkan ini disalin dari tangan kanan ke tangan kiri secara bergantian. Tidak boleh lepas dari tangan ketika di pindah – pindahkan. Kalau kuning telurnya tidak pecah, itu artinya kelak si anak bisa menjaga kehormatannya. Setelah itu, kuning telurnya harus ditelan mentah – mentah.
Prosesi berikutnya, setelah mandi lemon anak yang di khitan didandanin pakai baju adat gorontalo. Selanjutnya akan dibimbing berjalan atau menginjak 7 (tujuh) piring yang berisi uang coin 500 perak yang ditaruh diatas setangkai daun puring didampingi orang tuanya. Ini dilakukan sebanyak 3 kali putaran, selanjutnya menginjak piring yang berisi tanah dan jenis – jenis rumput. Terakhir menginjak piring yang berisi jagung dan padi, trus biji jagung dan butir padi yang menempel ditelapak kaki sang anak akan dihitung. Konon banyaknya jagung / padi yang menempel di kaki itu menunjukkan rezeki anak kita kelak. Jagung dan padi yang menempel tadi di jadikan makan ayam dengan cara memberikannya langsung pada ayam dengan memakai telapak tangan.
Prosesi mo po lihu lo limu selesai, di lanjutkan dengan santap bersama keluarga dan para undangan. Adat ini hingga kini masih melekat di masyarakat daerah gorontalo yang sangat menjunjung tinggi falsafah Adat bersendikan Syara’, dan Syara’ Bersendikan kitabullah.
Prosesi Mo polihu Lo Limu prosesi mandi kembang yang bercampur lemon (jeruk) dengan tumbuhan harum lainnya dipangkuan ibu yang melahirkan
Sesi tepuk mayang. Kalau mayangnya masih muda, harum, putih dan segar, pertanda baik bagi kehudipan, jodoh dan rezeki sang anak
Setelah mandi lemon anak yang di khitan didandanin pakai baju adat gorontalo, bili’u kecil.
Prosesi akhir mo polihu lo limu, berjalan atau menginjak piring yang telah diisi uang coin 500 perak yang ditaruh diatas setangkai daun piring
Pernikahan Adat Gorontalo
Pernikahan Adat Gorontalo ini perlu di lestarikan, karena mengandung nilai–nilai budaya yang tinggi. Adat Gorontalo ini semakin hari semakin terkontaminasi dengan perubahan zaman. Terlihat dimana–mana pernikahan di Gorontalo tanpa melewati lagi prosesi adat gorontalo. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Diantaranya, banyak pemuda zaman sekarang yang enggan mempelajari adat pernikahan gorontalo. Sehingga warisan leluhur ini semakin terlupakan, karena tidak adanya regenerasi penerus Adati lo Hulondhalo.
Gorontalo
Pernikahan Adat Gorontalo memiliki ciri khas tersendiri. Karena penduduk Provinsi Gorontalo memiliki penduduk yang hampir seluruhnya memeluk agama Islam, sudah tentu adat istiadatnya sangat menjunjung tinggi kaidah-kaidah Islam. Untuk itu ada semboyan yang selalu dipegang oleh masyarakat Gorontalo yaitu, “Adati hula hula Sareati–Sareati hula hula to Kitabullah” yang artinya, Adat Bersendikan Syara, Syara Bersendikan Kitabullah. Pengaruh Islam menjadi hukum tidak tertulis di Gorontalo sehingga mengatur segala kehidupan masyarakatnya dengan bersendikan Islam. Termasuk adat pernikahan di Gorontalo yang sangat bernuansa Islami. Prosesi pernikahan dilaksanakan menurut Upacara adat yang sesuai tahapan atau Lenggota Lo Nikah. Tahapan pertama disebut Mopoloduwo Rahasia, yaitu dimana orang tua dari pria mendatangi kediaman orang tua sang wanita untuk memperoleh restu pernikahan anak mereka. Apabila keduanya menyetujui, maka ditentukan waktu untuk melangsungkan peminangan atau Tolobalango.Tolobalango adalah peminangan secara resmi yang dihadiri oleh pemangku adat Pembesar Negeri dan keluarga melalui juru bicara pihak keluarga pria atau Lundthu Dulango Layio dan juru bicara utusan keluarga wanita atau Lundthu Dulango Walato, Penyampaian maksud peminangan dilantunkan melalui pantun-pantun yang indah. Dalam Peminangan Adat Gorontalo tidak menyebutkan biaya pernikahan (Tonelo) oleh pihak utusan keluarga calon pengantin pria, namun yang terpenting mengungkapkan Mahar atau Maharu dan penyampaian acara yang akan dilaksanakan selanjutnya.
Pada waktu yang telah disepakati dalam acara Tolobalango maka prosesi selanjutnya adalah mengantar harta atau antar mahar, didaerah gorontalo disebut Depito Dutu yang terdiri dari 1 paket mahar, sebuah paket lengkap kosmetik tradisional Gorontalo dan kosmetik modern, ditambah seperangkat busana pengantin wanita, serta bermacam buah-buahan dan bumbu dapur atau dilonggato.
Semua mahar ini dimuat dalam sebuah kendaraan yang didekorasi menyerupai perahu yang disebut Kola–Kola. Arak-arakan hantaran ini dibawa dari rumah Yiladiya (kediaman/ rumah raja) calon pengantin pria menuju rumah Yiladiya pengantin wanita diringi dengan gendering adat dan kelompok Tinilo diiringi tabuhan rebana melantunkan lagu tradisional Gorontalo yang sudah turun temurun, yang berisi sanjungan, himbauan dan doa keselamatan dalam hidup berumah tangga dunia dan akhirat.
Pada malam sehari sebelum Akad Nikah digelar serangkaian acara malam pertunangan atau Mopotilandahu . Acara ini diawali dengan Khatam Qur’an, proses in bermakna bahwa calon mempelai wanita telah menamatkan atau menyelesaikan mengajinya dengan membaca "Wadhuha" sampai Surat Lahab . Dilanjutkan dengan Molapi Saronde yaitu tarian yang dibawakan oleh calon mempelai pria dan ayah atau wali laki-laki. Tarian ini menggunakan sehelai selendang. Ayah dan calon mempelai pria secara bergantian menarikannya, sedangkan sang calon mempelai wanita memperhatikan dari kejauhan atau dari kamar.
Bagi calon mempelai pria ini merupakan sarana menengok atau mengintip calon istrinya, istilah daerah Gorontalo di sebut Molile Huali. Dengan tarian ini calon mempelai pria mecuri-curi pandang untuk melihat calonnya. Saronde dimulai dengan ditandai pemukulan rebana diiringi dengan lagu Tulunani yang disusun syair-syairnya dalam bahasa Arab yang juga merupakan lantunan doa-doa untuk keselamatan.
Lalu sang calon mempelai wanita ditemani pendamping menampilkan tarian tradisional Tidi Daa atau Tidi Loilodiya . Tarian ini menggambarkan keberanian dan keyakinan menghadapi badai yang akan terjadi kelak biila berumah tangga. Usai menarikan Tarian Tidi, calon mempelai wanita duduk kembali ke pelaminan dan calon mempelai pria dan rombongan pemangku adat beserta keluarga kembali ke rumahnya.
Keesokan harinya Pemangku Adat melaksanakan Akad Nikah, sebagai acara puncak dimana kedua mempelai akan disatukan dalan ikatan pernikahan yang sah menurut Syariat Islam. Dengan cara setengah berjongkok mempelai pria dan penghulu mengikrarkan Ijab Kabul dan mas kawin yang telah disepakati kedua belah pihak keluarga. Acara ini selanjutnya ditutup dengan doa sebagai tanda syukur atas kelancaran acara penikahan ini.
Footnote :
Bagi anda yang berencana menikah dengan Adat Gorontalo (Adati lo Hulodhalo) atau Adat Limboto (Adati Lo Limutu) sebaiknya untuk yang wanita harus pandai membaca Al-Qur’an dan menari Tidi sedangkan untuk yang pria harus bisa membawakan tari Molapi Saronde.

Alat Musik Tradisional

Polopalo
Gorontalo merupakan salah satu propinsi baru memisahkan diri dari propinsi Sulawesi Utara pada tahun 2001, memiliki jenis kebudayan dan adat istiadat yang beraneka ragam. Salah satu kesenian sebagai bagian dari kebudayaan daerah Gorontalo yang cukup terkenal yaitu musik tradisional Polopalo. Menurut masyarakat Gorontalo, musik tradisional Polopalo merupakan musik asli rakyat Gorontalo, namun pada perkembangannya, ternyata ditemui ada alat musik daerah lain yang hampir serupa dengan musik ini yakni alat musik Sasaheng dari Sangihe Talaud dan Bonsing dari Bolaang Mongondow.
Alat musik tradisional Polopalo merupakan alat musik jenis idiofon atau golongan alat musik yang sumber bunyinya diproleh dari badannya sendiri (M. Soeharto 1992 : 54), Dalam artian bahwa ketika Polopalo tersebut di pukul atau sebaliknya memperoleh pukulan, bunyinya akan dihasilkan dari proses bergetarnya seluruh tubuh Polopalo tersebut.
Alat musik Polopalo adalah alat musik yang bahan dasarnya terbuat dari bambu, bentuknya menyerupai garputala raksasa dan teknik memainkannya yakni dengan memukulkan ke bagian anggota tubuh yaitu lutut. Pada perkembangannya, Polopalo mendapatkan penyempurnaan pada beberapa hal, salah satunya adalah kini Polopalo dibuatkan sebuah pemukul dari kayu yang dilapisi karet agar mempermudah dan membantu dalam proses memainkan alat musik Polopalo. Hal ini memberi dampak selain tidak membuat sakit bagian anggota tubuh yang dipukul, juga membuat Polopalo tersebut berbunyi lebih nyaring.
Pada era tahun 60-an sampai sekitaran tahun 90-an, Polopalo biasanya dimainkan pada waktu – waktu tertentu, yang pada hari tersebut merupakan hari yang spesial menurut masyarakat Gorontalo. Contohnya, pada waktu masyarakat daerah Gorontalo telah selesai melaksanakan panen raya atau pada waktu bulan t’rang (bulan purnama). Tradisi memainkan musik Polopalo dilaksanakan tanpa menunggu perintah atau komando, dalam hal ini masyarakat tergerak dengan sendirinya karena merasa harus bergembira bersama dalam mensyukuri hari yang indah atau hari yang spesial tersebut. Biasanya musik tradisonal Polopalo itu dimainkan kira – kira pukul 22.00 sampai pukul 01.00 waktu setempat.
Musik Polopalo saat ini agaknya kurang diminati masyarakat. Kemungkinan penyebabnya antara lain, alat musik ini hanya dimainkan sendiri dengan variasi nada terbatas. Untuk lebih diminati, kemungkinan pengembangannya pada bentuk komposisi musik, yang diharapkan dapat menggugah generasi muda sebagai penerus kebudayaan, yang sehari-harinya mereka banyak mengkonsumsi berbagai aliran musik baru yang beraneka ragam. Oleh sebab itu pengambangan musik Polopalo diharapkan akan menghasilkan harmonisasi dan improvisasi variatif mengikuti perkembangan musik pada umumnya.
Bapak Arthur Galuanta, salah satu tokoh musik di Gorontalo mengasumsikan bahwa, sebenarnya alat musik Polopalo dapat di kembangkan dari 2 (nada) menjadi lebih, dalam artian musik Polopalo dapat dikembangkan jenis organologinya sehingga akan menghasilkan beberapa buah alat musik Polopalo dalam bentuk dan nada yang berbeda. Setelah itu Polopalo yang telah menjadi beberapa buah nada tersebut, akan dimainkan oleh beberapa orang dengan menyesuaikan komposisi yang telah dibuat. Secara otomatis musik Polopalo dengan variasi nada kemungkinan sudah bisa memainkan sebuah lagu. Variasi nada menjadi bahan pertimbangan ketika membuat komposisi, disesuaikan dengan sentuhan pengembangan yang telah kita nalarkan pada musik Polopalo tersebut.
Dapat ditemui dua macam Polopalo yaitu Polopalo jaman dulu/tradisional dan Polopalo jaman sekarang ini/bernada. Polopalo jaman dulu hanya dimainkan sendiri atau solo sedangkan alat musik Polopalo sekarang ini dimainkan berkelompok dengan menggunakan komposisi dan aransemen.
Teknik memainkannya pun berbeda, Polopalo jaman dulu dimainkan dengan memukulkan alat musik Polopalo tersebut ke pemukul dan kebagian anggota tubuh yaitu lutut secara beraturan, sedangkan alat musik Polopalo jaman sekarang ini dimainkan dengan memukulkan alat musik tersebut hanya ke pemukulnya saja. Namun teknik memainkan Polopalo sekarang ini jauh lebih menuntut kemampuan ritme dan musikalitas guna menyesuaikan dengan komposisi dan aransemen yang di berikan pada alat musik Polopalo.
Polopalo jaman dulu dan Polopalo jaman sekarang ini memiliki bahan dasar yaitu bambu. Bentuk keduanya sekilas menyerupai garputala raksasa. Perbedaan yang paling mencolok dari kedua jenis Polopalo ini yaitu terletak pada, Polopalo jaman sekarang ini tidak memiliki lubang pada pangkal Polopalo sedangkan pada Polopalo jaman dulu terdapat lubang untuk membedakan warna bunyi. Namun pada Polopalo waktu dulu tidak terdapatnya proses penyeteman/’penalaan’, sedang pada Polopalo sekarang ini terdapat proses penyeteman yang dilakukan dengan meraut secara bertahap lidah Polopalo.
Perkembangan ini sesuai realita di daerah Gorontalo, dimana para pengrajin musik Polopalo melakukan berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang didalam pola pikirnya telah dipengaruhi oleh berbagai perkembangan global dengan tuntutan kemajuan secara instan dari berbagai faktor. Misalnya, faktor ekonomi, sosial, dan teknik yang didalamnya ‘teknik’ seni (musik).

Cerita Rakyat atau Legenda di Gorontalo

Piilu Le Lahilote
Pada zaman dahulu di suatu tempat di tanah U Duluo lo’u Limo lo Pohite, hiduplah seorang pemuda bernama Lahilote. Perawakannya tegap, badan tinggi besar dan mempunyai kegemaran berburu. Dari hasil buruan itulah ia hidup. Dengan pekerjaan mengejar binatang buruan itu memaksa ia sering moleleyangi (mengembara masuk hutan keluar hutan). Angan-angannya tinggi, hatinya keras, kemauannya kuat, tekadnya kuat sehingga tidak ada sesuatu yang tidak dapat dilaksanakannya.Di suatu pagi Lahilote seperti biasanya keluar, mengembara mencari binatang buruan. Ia tiba-tiba dikejutkan oleh suara rebut-ribut. Suara itu kadang-kadang lemah, kadang-kadang keras. “Suara apakah gerangan itu?” demikian pertanyaan Lahilote dalam hatinya. Dengan hati yang berdebar-debar, perlahan-lahan ia menuju ke tempat asal suara tersebut. Dalam perjalanan menuju asal suara itu, nampak terdengar olehnya suara itu seperti suara manusia, tetapi siapakah manusia tersebut, belum diketahuinya.Setelah tiba di tempat suara itu Lahilote mengintip dari tempat yang cukup jauh. Ia melihat tujuh orang wanita sedang mandi di kolam. Semuanya cantik-cantik. Selesai mandi para wanita tersebut kemudian memakai pakaiannya dan tak lama kemudian terbang dan menghilang ke angkasa. Semua kejadian itu tak lepas dari penglihatan Lahilote. Nyatalah baginya bahwa wanita-wanita tersebut adalah Putri lo Owabu (putri kayangan/bidadari) yang turun ke bumi untuk mandi di kolam itu. Memang di hutan itu terdapat sebuah kolam yang airnya jernih dan bening, tetapi tak disangka bahwa kolam itu ternyata digunakan oleh putri kayangan sebagai tempat pemandian mereka.
Setelah mengetahui bahwa putri-putri kayangan sering berdatangan mandi di kolam itu, Lahilote kemudian berusaha selalu datang dan mengintip untuk mencari tahu kapan lagi mereka datang ke tempat itu. Tepat pada hari ke tujuh tibalah nampak oleh Lahilote dari angkasa tujuh buah titik hitam yang melayang-layang di udara. Titik-titik itu makin lama makin jelas, akhirnya turun menuju kolam. Mereka sama-sama menanggalkan sayapnya dan masing-masing terjun ke dalam kolam. Dengan riang gembira sambil bercanda ria mereka timbul tenggelam mandi di kolam itu. Lahilote pun belum menampakkan dirinya dari tempat persembunyian dirinya. Ia masih tetap mengintip dari balik semak-semak. Ia khawatir jangan sampai kepergok oleh mereka dan menyebabkan mereka takut Lahilote tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Ia berupaya mencari akal untuk menahan salah seorang gadis itu sekaligus mempersuntingnya sebagai isteri. Setelah menemukan akal, Lahilote dengan kesaktiannya kemudian mengubah diri menjadi seekor ayam hutan jantan kemudian berjalan mengais-ngaiskan kakinya mendekati tempat tumpukkan pakaian dan sayap para putri kayangan kemudian mencuri salah satu dari tujuh sayap itu. Dengan tanpa diketahui oleh putri-putri kayangan ayam yang tadinya sedang mengais-ngais di dekat kolam itu tiba-tiba menghilang dan membawa pulang salah satu sayap mereka.
Setelah mendapatkan pakaian itu Lahilote segera kembali ke rumahnya dan menyembunyikan pakaian tadi di dalam lumbung padi di bagian bawah rumahnya. Kemudian Lahilote kembali ke kolam untuk melihat apa yang terjadi selanjutnya. Dilihatnya para gadis itu sudah berkemas naik ke darat dengan berebutan mengambil pakaian masing-masing. Alangkah terkejutnya salah seorang di antara gadis itu ketika menyaksikan pakaiannya tidak ada lagi di tempatnya, sementara temannya satu demi satu berangkat melayang meninggalkannya karena takut ketahuan oleh manusia. Sang gadis dengan hati sedih kemudian mulai mencari pakaiannya. Hampir semua batu dan semak dijelajahinya namun hasilnya nihil, pakaiannya tidak kunjung ditemukannya.
Betapa sedihnya gadis itu ditinggal sendirian, sementara teman-temannya terpaksa pergi meninggalkannya terbang ke angkasa. Ia menangis tersedu-sedu hatinya risau mengenang nasibnya yang malang itu. Kejadian itu tak luput dari perhatian Lahilote. Setelah melihat gadis itu sendirian ia kemudian keluar dari persembunyiannya mendekati sang gadis. Ia mulai mencoba merayu dan memikat hati gadis itu dan bertanya “Mengapa Dinda sesedih ini?” Gadis itu tak menjawab, menolehpun tidak, bahkan tangisnya semakin menjadi-jadi. Lahilote kemudian menghibur dan melanjutkan pertanyaannya “Wahai Dinda siapakah namamu, dan dari manakah engkau datang?”. Gadis yang ditanya membisu dan tiada berkata sepatah pun. Ia terus menangis dan menangis. Hatinya sedih memikirkan bagaimana nasibnya kelak.
Lahilote tiada berputus asa, ia tetap menyampaikan kata-kata rayuannya, “Wahai Dinda! Mungkin sudah kehendak Tuhan engkau akan bernasib seperti ini. Tuhan Yang Maha Kuasa telah melaksanakan apa yang telah dikehendaki-Nya. Tidaklah Dinda ridha atas kehendak Tuhan? Kehendak-Nya telah berlaku, mengapa Adinda bersedih dan menyesali diri?” Rupanya kata-kata Lahilote yang terakhir ini termakan di hati sang gadis. Ia menyesal telah menolak kehendak Tuhan yang mungkin sebagai ujian bagi dirinya. Dengan menyadari itu semua, ia kemudian mencoba tersenyum dan secara perlahan menoleh ke arah Lahilote dengan memperlihatkan ekspresi wajah memohon pertolongan. Betapa gembiranya Lahilote, ketika menyaksikan sang gadis tersenyum dan menoleh kepadanya. Lahilote pun seakan mengerti arti pandangan tersebut, dan kemudian tanpa sungkan-sungkan selanjutnya melontarkan pertanyaan, “Siapakah Adinda? Darimana Adinda datang?” Gadis itu kemudian menjawab, “Nama saya Boilode Hulawa, berasal dari kayangan”. Dengan nada menghibur Lahilote pun selanjutnya berkata, “ Wahai Boilode Hulawa, putri kayangan engkau tidak perlu merasa bersedih tinggal di bumi, negeri ini bukan negeri terasing bagimu, aku Lahilote dengan senang hati akan menghibur dan menolong dirimu”. Boilode menjawab, “Wahai Kanda, sesungguhnya negeri ini sangat asing bagiku, aku di sini tidak mempunyai sanak dan tidak mempunyai saudara, tidak beribu, dan tidak berbapak. Aku tidak berkeluarga dan oleh karenanya aku sedih sekali. Tetapi aku cukup mengerti dengan kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa, aku pasrah pada nasibku oleh karenanya aku sangat berterima kasih kalau Kanda mau menolongku”. Keduanya pun kemudian berangkat menuju rumah Lahilote. Saat menuju ke rumahnya, Lahilote kemudian menyampaikan keinginannya untuk melamar dan menikahi Boilode Hulawa. Setelah mendengar kata Lahilote itu maka menjawablah Boilode, “Wahai Kanda, tidak beralasan Dinda menolak keinginan Kanda sebab menurut Dinda, mungkin inipun suatu ketentuan yang digariskan Tuhan Yang Maha Kuasa, bahwa hamba akan berjodohkan Kanda. Di negeri yang asing ini aku tidak menemukan seseorang yang dapat mempertanggung jawabkan nasib hidupku ini selain diri Kanda”. Sambil berkata-kata itu tanpa terasa sampailah mereka ke tempat tujuannya.
Atas persetujuan kedua belah pihak, terjalinlah perkawinan yang bahagia dari dua insan yang berasal dari dua negeri yang berjauhan yakni pemuda Lahilote dari Bumi dengan Boilode Hulawa dari kayangan. Mereka mendayung bahtera rumah tangga baru dengan rukun dan damai. Lahilote setiap hari melaksanakan tugasnya sebagai petani dan berburu. Boilode Hulawa pekerjaannya memasak, mencuci pakaian dan urusan rumah tangga lainnya.
Lahilote berusaha agar usaha pertaniannya kian bertambah maka ia bekerja sepanjang hari. Menyaksikan dan merasakan hal itu Boilode mulai berfikir betapa berat hidup di bumi, semua harus dikerjakan sendiri, harus mencari nafkah sendiri jika tidak demikian akan kelaparan. Setelah hidup di dunia ia pun sebagai putri kayangan turut terlibat dalam melaksanakan tugas-tugas yang berat itu. Kadang kala ia terkenang pada negeri asalnya, di sana ia tidak perlu bersusah-susah semuanya serba tersedia. Sedangkan disini ia harus bekerja keras, menyapu halaman, mencuci piring, dan lain-lain yang hal tersebut tidak pernah dilakukannya di negeri kayangan. Hal-hal seperti inilah yang sering terlintas dalam pikiran Boilode Hulawa. Dengan memikirkan kesusahan di bumi ini, Boilode tak henti-hentinya merindukan negeri kayangan, kampung halamannya yang dicintainya, tetapi bagaimana cara untuk kembali masih sulit untuk dipecahkannya, sementara itu kolam untuk pemandian mereka tak pernah dikunjungi lagi oleh saudara-saudaranya. Terpaksalah Boilode harus melaksanakan pekerjaan itu walau bagaimana pun beratnya. Ia telah rela kawin dengan orang bumi dan harus mengabdikan diri sebagai seorang isteri dari suaminya itu, bukankah keadaannya ini adalah sudah merupakan kehendak Yang Maha Kuasa. Menyadari akan hal itu maka Boilode pun berusaha membantu dan meringankan beban suaminya. Dengan kesaktiannya sebagai putri kayangan ia pun dapat dengan satu butir beras saja bisa memasak untuk mencukupi makan dia dan suaminya, tanpa diketahui oleh sang suami. Pada suatu hari sang suami berfikir, “Beberapa bulan telah berlalu, aku diberi makan dengan secukupnya, tetapi apa sebabnya padi di lumbung tidak berkurang? Dan mengapa pula isteriku tidak pernah menumbuk padi ketika akan memasak, seperti halnya yang dilakukan oleh orang-orang di bumi? Jika seandainya ia menumbuk dengan tanpa aku ketahui, mana dedak sisa hasil menumbuk padi tersebut?” Demikian tanya Lahilote dalam hatinya. Oleh karenanya timbullah niatnya untuk mengamati keadaan isterinya sehari-hari.
Pada suatu hari sebagaimana biasa Boilode menjerangkan periuk ke atas tungku untuk memasak nasi, sang suami bermaksud untuk mencari tahu rahasia yang menyelimuti isterinya itu. Ke dalam periuk itu ditaruh oleh Boilode sebutir padi kemudian ditutupinya rapat-rapat. Selanjutnya sambil menunggu nasi masak Boilode pergi ke sumur untuk mencuci pakaian. Beberapa saat kemudian ketika isterinya berada di sumur, Lahilote masuk ke dapur seraya memeriksa isi periuk tersebut. Alangkah terkejutnya ia ketika menyaksikan bahwa isinya hanyalah sebutir padi terendam dalam air di periuk itu. Tahulah ia akan rahasia isterinya, “Pantas padi dalam lumbungnya seperti tidak berkurang sedikitpun, karena memang hanya dimasak sebutir-butir. Tetapi mengapa hal seperti itu dirahasiakannya kepadaku?” demikian pikir Lahilote. Kemudian periuk itu ditutupnya kembali sebagaimana biasa
Selesai mencuci pakaian, Boilode masuk ke dapur memeriksa nasi yang dijerangnya. “ Wuih, celaka masih tetap sebutir padi?” katanya. Ditunggunya beberapa saat juga tidak berubah. “Ah … mungkinkah suamiku sudah melihat isi periuk ini?” pikirnya. Memang sudah lama Boilode Hulawa melakukan pekerjaan itu, bahwa dengan kesaktiannya jika ia memasak cukup dengan sebutir padi saja setelah masak akan berubah jadi satu periuk, dan ini bisa menjamin kehidupan keduanya bahkan bagi tamu-tamu yang datang bertamu di rumah mereka. Dengan cara seperti itu Boilode akan bisa menghemat tenaga untuk menumbuk padi dan menghemat beras yang ada di dalam lumbung padi di rumah mereka. Akan tetapi rahasia dibalik itu adalah bahwa kesaktian ini akan hilang jika dilihat oleh orang lain. Sambil termenung Boilode menyesali nasibnya, kini rahasianya telah terbuka, berarti mulai dari saat itu ia harus bekerja keras.
Sejak peristiwa itu terjadi, Boilode mulai meningkat cara kerjanya. Ia harus menumbuk padi setiap hari untuk dimasak. Dengan demikian makin lama padi di dalam lumbung itu semakin berkurang. Akhirnya masa setahun telah berlalu, habislah padi di dalam lumbung. Saat Boilode mengambil padi yang terakhir untuk ditumbuk, di bawah lapisan padi di dalam lumbung itu tampaklah olehnya sayapnya yang dulu hilang. Dengan melihat sayap yang tersembunyi di lumbung padi itu tahulah ia bahwa suaminya Lahilotelah yang menyembunyikan sayapnya. Sedih ia melihat sayap dan pakaiannya yang sudah koyak dan beberapa bagiannya telah sobek. Tetapi ia bersyukur bahwa pakaiannya itu akhirnya diperolehnya kembali. Dan iapun tidak dapat menyembunyikan kegembiraan hatinya, segala macam kesulitan yang dirasakannya selama ini sepertinya tidak terasa olehnya. Demikian pula kemauannya untuk kembali ke negeri asalnya semakin meluap-luap, tetapi hal itu tetap dirahasiakannya kepada suaminya.
Diperiksanya kembali sayapnya itu, terutama pada bagian yang sobek. “Ini perlu dijahit” katanya dalam hati. Tetapi bagaimana? Untuk mengambilnya saja penuh perhitungan, jangan sampai ketahuan suaminya apalagi jika menjahitnya. Boilode Hulawa kemudian mencari akal, ia mengatakan kepada suaminya bahwa ia sekarang ini sedang mengandung. Ia merasa sering kurang enak badan, kepalanya pusing, perasaan mual dan lain-lain alasan. Betapa gembiranya hati Lahilote, karena dengan demikian keinginannya untuk memperoleh anak dari putri kayangan akan segera terwujud. Demikianlah Lahilote semakin meningkatkan gairah kerjanya dan semakin sering memperhatikan Boilode dan berusaha untuk memenuhi segala keinginan isterinya itu.
Pada satu waktu Boilode Hulawa berkata kepada suaminya, “Kanda, Dinda ingin makan ikan laut, terasa mual rasanya perut ini sebab sering memakan hasil buruan Kanda saja setiap hari, maukah Kanda meluluskan permintaan Dinda ini?”. Lahilote berkata, “Dinda, sebenarnya sekarang musim surutnya ikan di laut. Namun demikian, untuk menyenangkan hati Dinda, Kanda akan pergi juga mencari ikan itu, doakanlah semoga Kanda berhasil”. Demikian perkataan Lahilote menyahuti keinginan isterinya. Isterinyapun kembali berkata, “Terima kasih Kanda, mudah-mudahan lagkah mujur akan menyertai Kanda. Sungguh Adinda ingin sekali makan ikan laut. Mati rasanya Dinda kalau tidak dapat memenuhi selera ini”.
“Baiklah, Kanda akan berkemas ke laut dan Adinda baik-baik saja di rumah sepeninggal Kanda, jangan sekali-kali Adinda keluar rumah karena sebentar lagi angin darat bertiup”, kata Lahilote sambil pamit kepada isterinya untuk berangkat ke laut. Selama dalam perjalanan, tak terlintas sedikit pun dalam diri Lahilote bahwa kata-kata isterinya itu adalah siasatnya untuk mencari jalan kembali ke kampung halamannya. Boilode sengaja melakukan hal itu untuk mencari kesempatan memperbaiki sayapnya yang rusak dan selanjutnya akan kembali dan berkumpul dengan saudara-saudaranya di kayangan. Sepeninggal suaminya ke laut, Boilode mengambil sayapnya itu dan tidak melakukan pekerjaan yang lain, keesokkan harinya ia mulai mencoba sayapnya itu, tapi tingginya baru bisa mencapai loteng rumah mereka. Setelah itu diperbaikinya lagi, lalu dicobanya, hasilnya pun lebih meningkat dari semula sudah berada di bumbungan rumah. Menyaksikan itu harapan untuk kembali ke kayangan pun sudah makin menjadi-jadi. Setelah dicobanya untuk ketiga kalinya, ia sudah mencapai pohon kelapa. Dan hal itu sudah semakin memantapkan hatinya, ia yakin benar bahwa sayapnya telah kembali utuh seperti semula dan dapat digunakan untuk kembali ke kayangan. Akhirnya dengan berketetapan hati ia memutuskan untuk kembali ke kayangan saat itu juga.
Sebelum berangkat, Boilode menemui lumbung padi dan selanjutnya berkata, “Wahai Lumbung! Bila suamiku pergi janganlah sekali-kali engkau memberitahu bahwa pakaian (sayap) yang engkau simpan telah aku ambil. Jangan pula engkau beritahu kini bahwa aku telah kembali ke kayangan”. Kemudian ia menemui pintu dan berpesan, “Wahai pintu! Aku akan berangkat meninggalkanmu ke negeri asalku, aku berpesan kepadamu jangan engkau beritahukan kepada suamiku jika ia kembali dari laut”. Seterusnya ia menemui jendela, dapur, belanga dan setiap perabot rumah tangga lainnya sambil berpesan agar kepergiannya tidak diberitahukan kepada suaminya setelah yang bersangkutan tiba di rumah. Ketika akan meninggalkan rumah setelah berada di tangga ia berkata, “Wahai Tangga! Aku akan meninggalkan negeri ini, aku akan pulang ke kayangan, rahasiakanlah hal ini kepada suamiku”. Selanjutnya ia menemui tumbuh-tumbuhan, rumput-rumputan, pohon-pohonan untuk maksud yang sama. Kecuali diantara tumbuh-tumbuhan itu Hutia Mala yang tidak dihubunginya, karena konon rotan termasuk satu-satunya tumbuhan yang tidak mau dipengaruhi siapa pun. Ia tetap berkata sesuai kenyataan, atau apa yang sebenarnya. Setelah Boilode Hulawa berpesan kepada semua yang ada di sekitarnya, lalu berangkatlah ia terbang ke angkasa terlebih dahulu ia mengintip keadaan suaminya di pantai. Didapatnya Lahilote tengah tidur nyenyak terlentang di pantai. Ia kemudian meludahi suaminya itu dengan luwa lo pomama (air sirih pinang) yang kebetulan sedang dikunyahnya, sebelum berangkat, kemudian ia melanjutkan perjalanan menuju ke pintu langit. Luwa tersebut persis jatuh ke dada Lahilote. Lahilote terbangun dan merasakan adanya air hangat di atas dadanya. Diperiksanya ternyata air tersebut adalah luwa lo pomama. Ia kemudian berfikir, “Apakah gerangan yang terjadi?”. Timbul kecurigaannya, ketika diteliti lagi dan diciumnya ternyata baunya harum, seperti luwa yang biasanya keluar dari mulut isterinya. Setelah meyakini hal tersebut tepatlah seperti yang dipikirkannya, ternyata bahwa isterinya telah menemukan sayapnya dan pergi meninggalkan dirinya. Lemaslah sekujur tubuh Lahilote.
Setelah beberapa lama termenung dan meyakini bahwa isterinya telah berangkat ke kayangan, Lahilote bergegas kembali ke rumahnya. Selama dalam perjalanan, Lahilote bertanya kepada batu, “Wahai Batu! Tidakkah kau melihat isteriku, kemana ia pergi?”. Batu menjawab sebagaimana yang dipesankan oleh Boilode Hulawa. “Wahai Lahilote, aku tidak pernah melihat isterimu, dan belum pernah mendengar kabar beritanya”. Lahilote pun meneruskan perjalanannya. Ia menemui segala makhluk dan tumbuh-tumbuhan yang ada di sepanjang jalan untuk ditanyainya, tetapi semua menjawab tidak pernah melihat dan mendengar kabarnya. Ketika ia berada di depan rumahnya ia bertanya kepada tangga, “Wahai Tangga! Kemanakah isteriku Boilode Hulawa pergi?” Tangga menjawab, “Wahai Lahilote yang aku ketahui selama ini isterimu sering berada di rumah, lain dari itu aku tidak pernah ingin tahu kemana ia pergi?”.
Dengan hati kecewa Lahilote terus mencari jejak isterinya, ia bertanya kepada pintu, namun ia pun tidak memperoleh jawaban yang menggembirakan. Ia masuk ke dalam rumah bertanya kepada jendela dan semua perkakas yang ada dalam rumahnya tak satu pun memberi jawaban yang menggembirakan hatinya. Jawaban yang diperoleh semuanya sama bahwa mereka tidak tahu menahu tentang kepergian isterinya. Kemudian Lahilote masuk ke dalam lumbung, memeriksa tempat persembunyian sayap Boilode, ia terkejut melihat bahwa sayap itu sudah tidak berada di tempatnya lagi. Selanjutnya ia bertanya kepada lumbung, “Wahai Lumbung! Masih ingatkah engkau pada waktu yang lalu aku telah menyerahkan kepadamu selembar gaun untuk kau simpan dan kau jaga. Kemanakah sekarang gaun tersebut, aku tidak melihat berada di tempatmu lagi? Siapakah yang telah mengambilnya?” Lumbung pun menjawab, “Wahai Lahiote! Telah sekian lama aku menyimpan berton-ton padi dan padi yang menindih gaun itu setiap hari diambil untuk makanan kalian sedikit demi sedikit, aku sudah tidak lagi memperhatikan keadaan gaun itu apakah sudah dimakan anai-anai ataukah dimakan tikus, entahlah!”.
Mendengar jawaban lumbung seperti itu Lahilote bertambah risau, meskipun demikian ia tetap melontarkan pertanyaan kepada lumbung, “Wahai Lumbung! Tidakkah engkau mengetahui kemana perginya Boilode Hulawa, isteriku?”. Lumbung menjawab, “Wahai Lahilote! Aku tak dapat memberikan keterangan terhadap sesuatu yang bukan menjadi tugasku. Bukankah tugasku hanya menyimpan padi yang engkau masukkan kepadaku!”. Setelah mendengar jawaban lumbung demikian, Lahilote dengan hati kesal langsung turun dari rumahnya untuk mencari informasi tentang keberadaan isterinya menuju tempat lain. Dalam hati ia berkata, “Mengapa semua mereka yang aku tanyai tentang isteriku tak satupun yang mengetahuinya?”. Selama dalam perjalanan masuk hutan keluar hutan ia terus memikirkan keberadaan isterinya. Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, ia terus mencari isterinya tak kenal siang ataupun malam.
Pada suatu hari Lahilote tak sanggup lagi meneruskan perjalanannya mencari isterinya, ia merasa lelah dan harus melepaskan lelahnya itu dan mencari tempat duduk berteduh. Di bawah sebuah pohon kayu yang rindang ia duduk dan bersandar untuk beristirahat memulihkan tenaga. Tanpa terasa akhirnya ia tertidur pulas. Dalam tidurnya ia bermimpi sedang melihat seseorang yang sudah tua datang kepadanya dan berkata, “Wahai Lahilote! Tidak jauh dari tempatmu ini ada sebatang pohon yang dapat menolongmu, pohon itu adalah sebatang pohon rotan yang tunggal dan sangat panjang, namanya Hutia Mala. Pergilah engkau ke sana!”.
Setelah mimpinya habis, terjagalah Lahilote dari tidurnya dan segera bangun sambil mengusap-usap matanya dan mengingat-ingat mimpinya tadi. Tak berapa lama Lahilote pun berdiri dan berjalan mencari pohon Hutia Mala yang disebut-sebut dalam mimpinya itu. Tidak jauh ia berjalan, hanya beberapa puluh meter dari tempat ia beristirahat terlihatlah olehnya sebuah garis hitam menjulang jauh ke atas langit. Sambil berjalan ia memperhatikan terus garis hitam itu. “Mungkin inilah Hutia Mala yang ditunjukkan oleh mimpiku tadi” pikirnya. Ternyata dugaannya benar bahwa yang tinggi menjulang ke angkasa itu adalah rotan yang luar biasa panjangnya, berdiri menghempas-hempaskan diri di angkasa. Lahilote selanjutnya mendekati rotan tersebut sambil bertanya, “Hai Hutia Mala! Apakah engkau melihat isteriku Boilode Hulawa?” Hutia Mala menjawab, “Benar aku telah melihat isterimu Boilode Hulawa, ia telah terbang pulang ke angkasa. Sekarang mungkin ia sudah berada di langit. Sebelum berangkat ia meninggalkan pesan kepada seluruh penghuni bumi ini untuk merahasiakan kepergiannya, kecuali aku tidak didatanginya?” Lalu Lahilote berkata, “Kalau demikian apakah engkau sanggup menolongku?” “Engkau minta pertolongan dalam hal apa?” tanya Hutia Mala. “Sanggupkah engkau mengantarkan aku ke pintu langit?” tanya Lahilote pula. Hutia Mala menjawab, “Aku dapat mengantarmu ke pintu langit, asalkan engkau memenuhi segala persyaratan yang aku ajukan”. “Syarat apakah yang engkau minta?”, bertanya lagi Lahilote. Menjawab Hutia Mala, “Persyaratan yang harus engkau sanggupi ialah (1) Motiluntu to buto’o, motita’e to eungo (naik di atas busur melengkung ke bawah dan naik di atas busur yang melengkung ke atas. (2) Pomala-malabi’u ode Pakusina, wau Dakusina, ode Masariku, wawu Magaribu (aku hempas-hempaskan ke negeri Palestina, ke Damaskus, ke Timur, ke Barat, dan ke seluruh alam empat penjuru)”.
Karena didorong oleh keyakinan segera bertemu dengan isterinya, Lahilote menyatakan kesanggupannya memenuhi persyaratan yang diajukan Hutia Mala. Di samping persyaratan itu Hutia Mala mengemukakan syarat yang ke tiga yakni Lahilote disuruh menyediakan minyak kelapa sawit tujuh tempayan. Dan syarat keempat adalah Lahilote diminta menyediakan tujuh buah kelapa yang kulitnya keras bila dikupasi (bongo pi’ita). Demikianlah syarat yang harus dipenuhi oleh Lahilote. Berhari-hari ia mencari tujuh tempayan minyak kelapa sawit, dan tujuh biji kelapa sawit, dan tujuh biji kelapa yang keras kulitnya, akhirnya diperolehnya juga meskipun dengan susah payah.
Setelah semua bahan tersebut sudah tersedia, memberitahulah dia kepada Hutia Mala dan berkata: “Inilah minyak kelapa sawit tujuh tempayan dan tujuh biji kelapa yang engkau minta kepadaku”. “Siramkan sebagian ke pangkal tubuhku, dan sebagian gosokanlah pada bagian itu juga, setelah itu memanjatlah engkau ke atas. Dan bila engkau tak dapat memanjat lagi karena minyak sudah habis, ambillah lagi satu tempayan kemudian lakukan pekerjaan sebagaimana engkau menggunakan minyak pada tempayan pertama. Demikian yang engkau lakukan sampai engkau selamat pada tujuanmu”. Setelah menerima petunjuk itu Lahilote pun segera mengambil minyak kelapa sawit tersebut dan menyiramkan sebagian pada pangkal rotan itu dan sebagian lagi digosokkan pada batangnya. Lahilote pun mulai naik. Ia memanjat pohon Hutia Mala sambil menggosokkan minyak kelapa pada batang rotan tersebut. Demikian seterusnya dilakukan apabila minyak tersebut habis. Setiap kali ia mengambil minyak setempayan, panjatannya makin lama makin tinggi. Pada saat ia mengambil tempayan yang keenam, perjalanannya telah melewati pertengahan jarak ke pintu langit. Minyak kelapa pun habis dan ia tidak dapat meneruskan perjalanannya, ia kembali meluncur ke bawah untuk mengambil minyak satu tempayan. Seketika ia berada di bawah dan mengambil tempayan yang terakhir, saat itu Hutia Mala berkata: “Hai Lahilote! Sebelum engkau menggunakan minyak kelapa pada tempayan yang ketujuh carikan olehmu dahulu seekor kucing yang dicintai nabi. Kucing itu sebentar akan menjaga pangkal pohonku agar tidak dimakan tikus. Apabila kucing itu telah engkau dapati belahlah tujuh buah kelapa dan buatlah menjadi tujuh tumpukan. Daging kelapa itu sebagai makanan kucing tadi”. Mendengar perintah seperti itu, betapa sulitnya yang harus oleh Lahilote. Tetapi demi keselamatan dirinya untuk mencapai tujuannya maka ia pergilah mencari kucing tersebut. Ketika bertemu seekor kucing ia bertanya: “Apakah engkau termasuk kucing yang dicintai oleh nabi?”. Kucing itupun menjawab, “Tidak, aku bukan kucing yang dicintai nabi” Lahilote pun segera meninggalkannya dan pergi mencari kucing yang lain. Setiap berpapasan dengan kucing selalu ditanyakannya kalau kucing-kucing tersebut dicintai nabi. Namun tak satupun kucing yang dijumpai menyatakan bahwa ia tergolong yang dicintai nabi. Lahilote pun meneruskan perjalanannya mencari kucing yang lain. Pada suatu hari Lahilote sedang duduk termenung melepas lelahnya sambil mengenang nasibnya yang malang itu. Tiba-tiba melompatlah seekor kucing belang dari arah samping melewati tempat ia duduk. Melihat kucing itu Lahilote terkejut karena kucing itu badannya besar dan tegap, tangkas lagi cekatan dan memiliki belang seperti permadani dari Arab.
Segeralah Lahilote menegur kucing itu, tapi tidak dihiraukannya. Lahilote pun dengan sabar membujuk kucing itu agar mau berbicara dengannya. Setelah lama mendiamkan teguran Lahilote, akhirnya kucing itu berkata, “Aku tidak mempunyai waktu yang banyak berbicara dengan engkau. Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan waktu di dunia ini hanya sedikit, maka waktu itu jangan hanya terbuang sia-sia, apalagi hanya digunakan untuk mengobrol. Aku terbiasa menggunakan waktuku untuk bertapa dan beramal”. Lahilote pun kembali berkata, “Hai Kucing! Tegakah engkau sebagai pertapa meninggalkan amal besar yang bakal engkau peroleh dari aku?”, “Amal besar apakah yang aku peroleh dari seorang pelamun seperti engkau?”. “Aku seorang yang dirundung kesedihan dan kesusahan. Bukankah menolong seseorang yang ditimpa kesusahan termasuk amal yang besar?” lanjut Lahilote. Sang kucing kembali bertanya, “Apakah kesusahanmu? Utarakan kepadaku, semoga aku bisa membantumu”. Lahilote pun kemudian mengutarakan kesulitan yang dihadapinya, “Wahai Kucing! Aku adalah seorang yang kehilangan isteri, ia telah terbang ke langit. Aku bermaksud menyusulnya dan telah menerima pertolongan Hutia Mala. Aku diantarkannya ke pintu langit, tetapi Hutia Mala meminta seekor kucing kecintaan nabi untuk menjaga pokok batangnya agar jangan dimakan tikus”. Kucing pun bertanya, “Apakah engkau mengetahui tanda-tanda kucing itu?”. “Aku tidak tahu!” jawab Lahilote. Mendengar jawaban Lahilote seperti itu, akhirnya sang kucing itu berkata, “Kalau engkau ingin bertemu kucing seperti yang dimaksud Hutia Mala, amatilah pinggulnya terutama di sekitar pantatnya, tidak berbulu, kedua kaki depannya tegap dan kuat karena ia selalu bertelekan dengan kedua kaki depannya. Bagian belakang kakinya tidak berbulu karena ia selalu duduk dengan kedua betis kaki belakangnya. Jika engkau bertemu dengan kucing seperti itu maka ialah kucing kecintaan nabi seperti yang engkau maksudkan”.
Setelah mengamati kucing yang berada di depannya tertegunlah Lahilote, sebab semua apa yang dikemukakan oleh kucing itu adalah benar-benar wujud keadaan diri sang kucing sendiri. Dengan tak segan-segan Lahilote pun berkata, “Telah banyak rumah yang aku masuki dan banyak pula desa yang aku datangi, namun tak ada satupun kucing memiliki tanda seperti yang engkau sebutkan itu kecuali engkau sendiri”. Setelah rahasianya mampu ditebak oleh Lahilote, maka berkatalah kucing itu, “Benar apa yang engkau katakan itu, aku bersedia membantumu tetapi apakah jaminan hidupku untuk menjaga pokok batang Hutia Mala itu?” Lahilote menjawab, “Telah aku siapkan untukmu tujuh buah kelapa yang akan menjadi makananmu selama menjaga pokok rotan itu”.
Setelah memperoleh persetujuan, maka berangkatlah keduanya menuju ke pokok Hutia Mala. Hutia Mala selanjutnya berkata: “Laksanakanlah apa yang menjadi tugasmu!” Lahilote pun segera membelah tujuh buah kelapa yang telah disediakan sebelumnya satu per satu. Ditumpukkannya menjadi tujuh tumpukan. Kepada kucing ia berkata: “Inilah makananmu, jangan sekali-kali engkau tinggalkan pohon Hutia Mala ini, agar tikus tidak datang menggigit pokoknya”. Selanjutnya Lahilote mengambil tempayan minyak kelapa yang terakhir, dan disiramkannya sebagian kepada pokok pohon Hutia Mala, dan sebagian dibawa-serta untuk digosokkan pada batang pohonnya pada saat ia memanjat.
Ketika Lahilote berada di atas, ia dihempaskan secepat kilat ke Palestina (Utara), kemudian Hutia Mala bangun kembali, menghempaskannya ke arah Damaskus (Selatan). Betapa ngeri perasaan Lahilote. Ia mengira saat itulah merupakan cobaan yang paling dahsyat yang dihadapinya dibanding dengan cobaan-cobaan sebelumnya yang pernah ia alami. Sesaat kemudian Lahilote dihempaskan lagi ke Masrik (Timur) secepat kilat, kemudian ke arah Maghrib (Barat). Kemudian Hutia Mala berdiri tegak lurus ke arah langit dan tidak bergerak sedikitpun. Lahilote mengira bahwa pekerjaan itu sudah selesai, ia tidak akan dihempaskan lagi dan sekarang ia akan menuju ke pintu langit. Akan tetapi tiba-tiba dia dihempaskan lagi ke semua arah mata angin. Lahilote pun berpegang kuat, lalu rotan itu pun berdiri lagi dengan tegaknya dan diam tanpa gerakan sedikitpun.
Setelah keadaan berangsur aman dan tenang, Lahilote meneruskan perjalanannya, hingga tiada berada lama sampailah ia ke pintu langit dan kemudian masuklah ia ke dalamnya. Betapa gembiranya Lahilote setelah selamat berada di negeri kayangan, negeri isterinya. Putri-putri kayangan pun mulai mencium bau manusia. Boilode Hulawa dan saudara-saudaranya keluar ingin melihat siapa manusia bumi yang telah datang ke negeri Kerajaan Langit ini. Begitu keluar terlihat oleh Boilode seorang lelaki yang perawakannya tinggi, tegap tengah berjalan-jalan jauh di hadapannya. Boilode akhirnya kenal benar dengan perawakan itu, yang tidak lain adalah Lahilote suaminya. Setelah saling mendekat dan berhadapan masing-masing seperti tidak saling mengenal. Boilode Hulawa bersikap seolah-olah tidak mengetahui siapa lelaki di depannya. Sementara itu Lahilote pun bingung menentukan mana diantara tujuh wanita cantik di hadapannya yang diketahuinya sebagai isterinya. Sebab semua wanita di hadapannya, sama parasnya, bahkan sama cantiknya.
Yang lebih merisaukan Lahilote ia sudah seharian itu belum menyentuh makanan apapun dan ia enggan untuk memohon kepada tujuh bidadari itu. Oleh karena itu ia ingin selekasnya bertemu isterinya untuk bisa membantunya memberikan makanan. Ia akan mati kelaparan kalau tidak bisa menemukan isterinya di antara tujuh bidadari yang nampaknya diam seribu bahasa dan sewaktu akan didekati mereka lari, terbang menghindari Lahilote. Lahilote pun bersedih dan tanpa terasa akibat menahan penderitaan itu menangislah ia dengan tersedu-sedu. Dalam keadaan yang demikian itu, tiba-tiba datanglah seorang tua menghampirinya kemudian bertanya: “Apakah yang engkau risaukan wahai manusia? Dari manakah engkau datang?” Lahilote pun menjawab dengan hati yang sedih: “Aku adalah manusia yang datang dari kerajaan Bumi. Aku mencari isteriku bernama Boilode Hulawa yang tinggal di negeri kayangan ini. Aku telah menemukan tujuh orang putri yang sama wajahnya. Sulit bagiku untuk menentukan mana di antara mereka itu isteriku”. Orang tua itu kemudian berkata, “Kalau hanya itu yang engkau risaukan, mudah saja bagiku untuk menolongmu. Pergilah engkau sekali lagi kepada mereka dan perhatikan siapa di antara mereka bertujuh yang akan dihinggapi kunang-kunang di antara garis kening matanya, maka dia itulah isterimu.
Mendengar petunjuk dari orang itu, segeralah Lahilote menemui puteri-puteri tersebut. Begitu bertemu, datanglah seekor kunang-kunang hinggap di salah seorang dari tujuh puteri kayangan tersebut. Lahilote pun lari dan memeluknya dengan penuh keyakinan bahwa orang yang didekapnya adalah isterinya yang dirinduinya. Boilode Hulawa pun mengelak dan meronta-ronta dan mengatakan bahwa ia bukan isteri Lahilote. Namun Lahilote tetap memeluknya dan mendekapnya dan ia tidak mau melepaskannya. Mengingat kembali penderitaannya ketika masih berada di bumi Boilode Hulawa sebenarnya tidak ingin lagi bersuamikan seorang manusia bumi yang penuh derita. Di langit tidak perlu bersusah payah, apa saja yag diingnkan telah tersedia, tidak perlu bekerja dan mencari. Hal itulah yang rasanya ingin ia keluhkan kepada Lahilote. Tetapi apa boleh buat Lahilote tidak mau melepaskannya. Akhirnya Boilode Hulawa menyerah saja, dan berkata: “Baiklah akulah isterimu, tetapi kalau engkau masih mau beristerikan aku, maka ada empat syarat yang harus engkau penuhi”. Katakanlah syarat apa itu”,kata Lahilote.
Boilode Hulawa kemudian memberikan kepada Lahilote sebilah pisau kemudian berkata “Ambilah pisau ini, gunakan untuk menebang kayu besar yang ada diepanmu. Engkau harus menggunakan pisau itu untuk menebang pohon itu, jangan menggunakan peralatan lain”. Lahilote bersedih hati menerima tugas itu. Ia berkata dalam hati, “untuk apa pisau sekecil ini, sedang pohon yang di tebang sangat besar” Ia menangis berhadapan dengan pohon besar itu. Tiba-tiba datanglah seekor burung belatuk dan berkata: “Mengapa engkau menangis melaksanakan pekerjaan ini?”. “Aku disuruh menebang kayu yang besar ini oleh isteriku dengan pisau sekecil ini”, jawab Lahilote. “Mudah saja mengerjakan itu, tunggu kami sebentar!”, kata burung belatuk. Tak lama kemudian, burung belatuk itu pun secara beriringan datang mematuk batang pohon itu, sehingga pohon tersebut tumbang. Lahilote melaporkan hasil pekerjaannya kepada isterinya. Isterinya berkata: “Bawalah kayu itu ke ujung sana!” demikian kata Boilode Hulawa sambil menunjuk suatu tempat, “ Akan tetapi tak ada setangkai pun yang ketinggalan” lanjutnya.
“Wah berat juga pekerjaan ini”, pikir Lahilote dalam hatinya. Sambil termenung ia memikirkan pekerjaan yang baru itu. Tiba-tiba datang seekor ular yang besar dan berkata: “Apa yang engkau renungkan disini?” Lahilote menjawab “Aku disuruh Boilode Hulawa mengangkat kayu yang sebesar ini sekaligus dengan daun-daunnya, untuk dibawa ke tempat dekat perapian di istana, dan takkan ada yang tertinggal”. “Sudalah, mari aku tolong membawanya”, kata ular itu, sambil melilit batang pohon tadi dan mengangkat ke Boilode Hulawa yang sedang menunggu di perapian itu, sekaligus dengan daun-daunnya , dan tak ada sehelai daun pun yang tertinggal. Tugas yang kedua ini pun di selesai dilaksanakan dengan bantuan sang ular itu. Dalam tugas selanjutnya Lahilote diperintahkan untuk menjemur padi selumbung di halaman, dan untuk mengangkatnya kembali ke dalam lumbung harus dibawa sebutir-sebutir. Lahilote dengan segera menangkat padi tersebut dari lumbung ke halaman, dipaparkannya di atas tikar. Setelah pekerjaan itu selesai dilakukannya, sekonyong-konyong langit mulai mendung tanda akan turun hujan. Lahilote bersedih memikirkan bagaimana caranya mengangkat padi selumbung itu sebutir-sebutir. Tak lama kemudian datanglah seekor semut besar menanyakan kesusahannya. Kepada semut dikatakannya tentang kesulitannya membawa padi selumbung yang harus diangkat sebutir-sebutir. Oleh semut hal itu dijawabnya dengan mudah saja bahwa ia sanggup menolong Lahilote. Kemudian dipanggilnya semua kawannya, dan tidak lama kemudian datanglah iring-iringan semut dan langsung membawa padi tersebut ke dalam lumbung.
Seusai pekerjaan itu, Lahilote merenung sejenak, “Tugas apalagi yang akan aku jalani selanjutnya?” Tiba-tiba Boilode Hulawa muncul dan berkata, “Isilah bak tempat mandi kami hingga penuh dengan air sungai, dengan menggunakan keranjang ini” kata Boilode sambil memberikan sebuah keranjang kepada Lahilote. Lahilote terkesima menerima perintah itu. “Bagaimana mungkin mengisi bak mandi dengan keranjang, ini hal yang tidak masuk akal“ keluhnya. Bukan main sedihnya hati Lahilote memikirkan tugas tersebut dan dengan perlahan ia mendekati sungai dan duduk termenung di tepi sungai itu. Saat ia bersedih seperti itu, tiba-tiba ia dikagetkan oleh satu suara yang tidak diketahui dari mana datangnya, “Apa yang membuat engkau sedih hai anak manusia?” demikian bunyi suara itu. Setelah mencri-cari sekian lama akhirnya Lahilote pun mengetahui asal suara itu yakni suara seekor belut yang ada di sungai didepannya. Kemudian Lhilote pun menjawab suara itu, “Aku sangat sedih dengar pekerjaan yang diberiakan oleh isteriku kepadaku. Bagaimana mungkin aku bisa mengisi bak mandi para puteri kayangan dengan keranjang yang bolong ini. Siapapun dia pasti akan mengalami kesulitan dengan pekerjaan yang tidak masuk akal ini”. “Oh hanya hal itu yang membuat engkau sedih, jika demikian tunggulah sebentar” kata belut, sambil menyelam. Tidak berapa lama sesudah itu, datanglah bebetrapa ekor belut. Satu persatu belut itu masuk ke dalam keranjang melumuri tubuhnya dengan lendir kemudian menggosok-gosokkan badannya pada dinding-dinding keranjang itu, sehingga menutuplah lubang-lubang keranjang itu dengan lendir sang belut. Sambil mengucapkan terima kasih kepada belut-belut itu denagn penuh kegembiraan Lahilote dapat melaksanakan tugasnya mengisi bak mandi dengan tanpa mengalami kesulitan sedikit pun.
Ketika Lahilote selesai melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya dengan baik maka Boilode Hulawa pun tidak mengingkari janjinya untuk menerima kembali Lahilote sebagai suaminya setelah memenuhi semua persyaratan yang diajukannya. Ia telah sudi membina kembali hubungan rumah tangganya dengan suaminya di kayangan. Dan Lahilote pun menikmati kehidupan yang gemerlapan dan bahagia bersama isterinya di kayangan, dan menerima perlakuan seperti pangeran. Kemesraan rumah tangga itu terjalin dengan baik dan damai. Lahilote tidak perlu bersusah payah bekerja seperti yang sering dirasakannya selama ini di bumi. Apa yang diinginkannya semuanya serba tersedia. Waktunya hanya digunakan untuk bersenda gurau dan bercumbu rayu dengan isterinya sambil menikmati keindahan dalam yang indah seperti yang terbayang di negeri nirwana. Mereka menikmati kebahagiaan selama bertahun-tahun.
Suatu ketika Lahilote sedang tidur, terlihat oleh isterinya ada uban (rambut putih) terdapat di kepala Lahilote. Dengan serta merta isterinya membangunkannya, hal itu tidak biasa dilakukan oleh Boilode Hulawa, membangunkan suaminya saat tidur. Lahilote seraya terbangun kaget sambil bertanya, “Ada apa yang terjadi?” Boilode menjawab, “Ada kabar penting yang harus aku sampaikan kepada Kanda!”. “Kabar apa gerangan itu dinda?” tanya Lahilote penasaran. Boilode kemudian berkata, “Menurut cerita orang tuaku bahwa Tuhan menciptakan penghuninya di kayangan ini tidak boleh beruban sebab uban adalah pertanda ketuaan, dan orang yang mengalami ketuaan pada saatnya akan mati. Kami di kayangan ini menjalani kehidupan abadi jadi tidak boleh ada yang beruban. Hal itu yang terjadi pada Kanda, ketika dinda tadi mencari kutu di kepala Kanda, Dinda telah menemukan bahwa di kepala Kanda telah tumbuh uban. Dan hal itu membuat Dinda cemas. Jangan sampai seisi istana mengetahui keadaan itu maka akan celakalah kita terutama Kakanda. Kakanda akan di usir dari negri ini, rakyat negeri ini akan mengejar-ngejar Kanda untuk mereka lemparkan kembali ke bumi”.
Lahilote menjawab : “Itu mudah saja, cabut saja uban itu dan bakarlah ia dengan api”. Isterinya menjawab : “Malah itu lebih berbahaya lagi Kanda, bukankah rambut itu akan tumbuh kembali, dan akan dilihat oleh kawan-kawan Adinda. Juga bau anyir rambut yang dibakar itu akan tercium oleh keluarga Adinda”. Kata Lahilote : “Jika demikian, bagaimana pendapat Adinda, dimana pun Kanda akan bersembunyi, lama kelamaan pun pasti akan tertangkap juga”. Jalan keluarnya adalah kita harus segera pindah dari negeri ini, kita berangkat lagi ke bumi” demikian kata Boilode. “Terserahlah kepadamu wahai Dindaku, jika demikian kehendakmu”, kata Lahilote dengan nada menyerah.
Setelah termenung beberapa lama, sesaat kemudian Boilode Hulawa berkata kepada suaminya : “Wahai Kakanda, bagi Dinda turun ke bumi mudah saja sebab Dinda menggunakan sayap, tetapi bagaimana caranya?” Lahilote menjawab, “Kakanda akan turun ke bumi melalui Hutia Mala yang dulu Kakanda pakai untuk naik ke negeri ini. Untuk itu sekarang juga Kakanda akan mengeceknya ke pintu langit untuk melihatnya apakah pohon itu masih utuh”. ”Baiklah kalau demikian, mudah-mudahan masih utuh”, kata Boilode.
Setelah Lahilote tiba di pintu langit, ternyata Hutia Mala tadi sudah lapuk, sudah tidak bisa digunakan lagi. Lahilote berfikir, mungkin sudah dimakan tikus, kucing yang menjaga pun sudah pergi karena sudah kehabisan makanan yang disediakannya pada waktu ia ke kayangan. Lahilote bersedih dan cepat-cepat ia kembali kepada Boilode Hulawa untuk menyampaikan berita sialnya itu.
Pada suatu ketika dilihat kembali oleh Boilode bahwa uban di kepala Lahilote semakin bertambah berarti malapetaka bagi suaminya pun akan semakin dekat. Lalu ia berkata kepada Lahilote : “Wahai Kakanda, Adinda mempunyai suatu cara yakni kita harus segera turun, tetapi tidak boleh sekaligus. Kakanda akan Adinda turunkan melalui rambut kepala Adinda yang akan disambung-sambungkan sampai ke bumi. Apabila Kakanda telah sampai di bumi, Adinda akan menyusul terbang dengan sayap Adinda. Hanya inilah cara yang sebaik-baiknya untuk bisa mengatasi kesulitan kita”. Selanjutnya Lahilote menjawab,”Jika tidak ada jalan lagi, baiklah saya setuju saja dengan usulmu itu”. Maka mulailah Boilode Hulawa mencabut rambutnya satu per satu. Lahilote disuruhnya berpegang pada satu ujung rambut dan kemudian disuruh turun dengan cara bergantungan pada salah satu ujung rambut tersebut. Penyambungan rambut berlangsung terus menerus dan akhirya rambut Boilode Hulawa telah habis, kepalanya telah gundul. Sementara Lahilote pun belum sampai di bumi, ia masih melayang-layang di antara langit dan bumi, dihempas-hempaskan oleh angin ke seluruh penjuru arah mata angin.
Pada suatu saat rupanya cuaca berubah, langit kini mendung, tiba-tiba kilat memancarkan sinarnya, petir dan halilintar saling menyambar, angin sejuk berubah menjadi taupan dan menghempaskannya ke semua penjuru. Dalam keadaan demikian, rambut tempat ia bergantung putus dan akhirnya Lahilote jatuh hancur terbelah di angkasa akibat terpaan petir dan angin topan. Ia terbelah dua, tubuh kanannya jatuh di Kelurahan Pohe, sehingga telapak kakinya berbekas di atas batu yang ada di pinggir pantai kampung tersebut. Sedangkan tubuh sebelah kirinya jatuh di Pulau Boalemo Sulawesi Tengah dan meninggalkan bekas telapak kakinya di sana. Bekas tapak kaki pada batu yang terdapat di dua tempat inilah yang disebut oleh orang Gorontalo dengan nama Botu Liodu.
Bulalo Lo Limutu
Dahulu kala daratan Limboto belum seperti sekarang ini. Tempat ini masih merupakan lautan yang luas. Sejauh-jauh mata memandang yang terlihat hanyalah dua buah puncak gunung yang tinggi yakni puncak Gunung Boliohuto dan Gunung Tilongkabila. Untuk menunjukkan arah terutama ketika memasuki Gorontalo melalui pelabuhan, kedua gunung ini dipakai sebagai pedoman untuk mengetahui arah Barat dan Timur yaitu Boliohuto yang menunjukkan arah Barat dan Tilongkabila menunjukkan arah Timur. Ketika pada suatu saat air laut surut menjelmalah tempat tersebut menjadi daratan dan beberapa selang kemudian terciptalah hutan dan semak belukar. Sedangkan di tempat yang rendah masih tetap terlihat adanya air laut yang menggenang. Demikian pula di beberapa tempat tertentu muncul mata air tawar yang juga sedikit demi sedikit membuat genangan-genangan air tawar. Hampir setiap tempat di daratan yang terbentuk itu terdapat mata air. Mata air yang jernih dan dingin adalah mata air di tengah-tengah daratan yang kurang dijamah orang karena terletak di tengah-tengah hutan yang lebat. Mata air inilah yang biasa didatangi oleh gadis kayangan untuk mandi bersibak atau main sembur-semburan air. Nama mata air ini adalah Tupalo.
Pada suatu hari turunlah seorang jejaka dari kayangan, sangat tampan dan perkasa, masih muda remaja. Nama sang jejaka ini adalah Jilumoto artinya (seseorang) yang menjelma datang ke dunia. Ketika menyaksikan adanya para bidadari yang mandi di Tupalo, ia berhasil menyembunyikan sayap salah seorang dari antara mereka. Ternyata sayap tersebut adalah milik bidadari yang tertua di antara mereka bernama Mbu’i Bungale. Ketika Mbu’i Bungale akhirnya ditinggalkan oleh saudara-saudaranya, berkenalanlah ia dengan Jilumoto yang pada akhirnya Mbu’i Bungale diajak untuk kawin dan jadilah ia isteri dari Jilumoto. Pasangan suami isteri ini akhirnya memutuskan untuk menjadi penghuni dunia dan kemudian mencari tanah yang dapat dihuni untuk bercocok tanam. Mereka menjumpai sebuah bukit yang kemudian diberi nama Huntu lo Ti’opo atau bukit kapas. Di bukit inilah mereka mendirikan rumah dan berkebun dengan bermacam-macam tanaman yang dapat dimakan.
Suatu ketika Mbu’i Bungale mendapat kiriman dari kayangan sesuatu yang disebut Bimelula yaitu mustika sebesar telur itik. Mbu’i Bungale mengambil Bimelula itu dan kemudian menyimpannya pada mata air (Tupalo) tempat biasa ia mandi dan ditutupnya dengan sebuah tolu (tudung). Pada suatu hari ada empat pelancong berasal dari bagian Timur tersesat ke tempat itu dan menemukan mata air tersebut. Begitu melihat air yang jernih dan dingin (sejuk) dengan serta merta mereka terjun ke dalamnya dan bersama di Tupalo itu. Selesai mandi nampak oleh mereka ada tudung terapung-apung di atas air. Mereka melihat-lihat jangan sampai ada orang mandi di tempat yang terpisah dengan mereka, atau ada orang yang lupa akan tudungnya. Setelah mengamati sekelilingnya, tidak ada manusia lain maka mereka mendekati dan bermaksud mengangkat tudung itu. Tiba-tiba terjadi badai dan angin topan yang sangat dasyat, dalam waktu yang bersamaan pula turunlah hujan dengan derasnya bagai dicurahkan dari langit. Dunia menjadi gelap, tak diketahui apa yang terjadi dan menimpa dunia ini, sejenak mereka mencari perlindungan pada tempat-tempat yang teduh dan jauh dari marabahaya.
Setelah badai reda hujan telah berhenti, mereka kembali ke mata air. Mereka melihat tudung itu masih terletak pada tempatnya semula. Dengan penuh keheranan mereka kembali mendekati tudung itu untuk mengangkatnya tetapi meludahi bagian atas tudung itu dengan sepah pinang. Setelah melakukan hal itu mereka tidak menjauh dari mata air, tetapi mengintip dan ingin tahu siapa pemilik tudung itu. Tak lama kemudian datanglah Mbu’i Bungale dengan suaminya bermaksud menjemput Bimelula (mustika) yang tertutup dengan tudung itu.
Ketika Mbu’i Bungale mendekati tudung, ia dihadang oleh empat pelancong yang tak dikenalnya itu. Mereka kemudian berkata, “Wahai, kalian berdua siapakah kalian sebenarnya, untuk maksud apa kalian mendatangi tempat ini?” Mbu’i Bungale kemudian menjawab, “Saya Mbu’i Bungale datang bersama suamiku Jilumoto untuk menjemput mustika dalam tudung itu”. Keempat orang itu dengan lantang menjawab, “Tidak seorangpun yang kami izinkan menjamah tempat ini apalagi mengambil barang-barang yang ada di sini. Tempat ini adalah milik kami”. Mbu’i Bungale balik bertanya, “Apa buktinya bahwa mata air dan tudung itu milik kalian?” empat orang itu berkata, “Lihatlah sepah pinang di atas tudung itu, itulah buktinya”. Mbu’i Bungale hanya tersenyum dan berkata, “Jika kalian benar menguasai mata air dan tudung itu, cobalah kalian besarkan mata air ini menjadi danau. Kuingatkan pada kalian bahwa dataran dan mata air ini diturunkan oleh Yang Maha Kuasa di dunia ini untuk ditujukan kepada orang-orang yang baik budi pekerti dan tingkah lakunya, baik hubungannya antara sesama manusia dan berkata benar. Bukan diberikan kepada orang-orang yang tamak dan rakus. Tanah ini berada dalam pemberkatan Yang Maha Kuasa, oleh karena itu jagalah jangan kalian cemarkan. Jika benar-benar kalian pemiliknya perbesarlah mata air ini. Jika benar kalian suruhan pemiliknya perluaslah mata air ini. Oleh karena kalian yang mengajak bertikai denganku maka kalianlah yang lebih dahulu memulai. Silahkan keluarkan ilmu-ilmu kalian, aku siap menantangmu!”.
Pertama kali yang memperagakan kesaktiannya adalah orang yang dianggap pemimpin dari mereka berempat. Sambil membentangkan tangannya dengan lantang ia berkata, “Wei mata air kami! Meluas dan membesarlah . . . ppssstttt!” demikian pemimpin memperagakan kesaktiannya. Tak ada yang terjadi, mata air tetap begitu saja tak memperlihatkan apa-apa, angin pun tak bergeser sedikitpun. Demikian satu per satu keempat orang asing itu memperagakan kemampuannya hingga orang keempat, mata air tetap tenang-tenang saja tidak bergerak. Hanya peluh mereka yang bercucuran membasahi tubuh seperti orang mandi saja layaknya.
Mbu’i Bungale kembali tersenyum dan berkata kepada mereka berempat, “Ayo keluarkan semua kemampuan kalian, buktikan mata air dan tudung itu milik kalian. Atau mungkin kalian telah menyerah kalah dan mengakui bahwa mata air ini bukan milik kalian”. Pemimpin mereka dengan nafas tersengal-sengal akibat kelelahan kemudian berkata, “Perlihatkan kepada kami jika engkau benar-benar sebagai pemilik mata air ini”. Mbu’i Bungale kemudian bersedekap, merapatkan kedua tangannya di atas dadanya memohon kepada Yang Maha Kuasa, kemudian ia mengarahkan tangannya ke arah mata air sambil berseru, “Woyi, air kehidupan, mata air sakti, mata air yang memiliki berkah, melebar dan meluaslah wahai mata air para bidadari, membesarlah … wuuuzzz !” Tak lama kemudian terdengarlah gemuruh air, tanah menggelegar, berlahan-lahan mata air itu melebar dan meluas. Mbu’i Bungale dalam sekejab telah berada di atas pohon, sementara keempat orang itu memandang pohon kapuk sekitar hutan dan terpana kagum menyaksikan keajaiban mata air itu.
Air semakin tinggi dan mulai mencapai tempat keempat orang yang berada di atas pohon kapuk itu, dengan berteriak-teriak mereka memohon ampun kepada Mbu’i Bungale. Mbu’i Bungale berkata, “Bagaimana, masihkah kalian mengaku sebagai pemilik mata air ini?” Dengan penuh permohonan mereka berkata, “Kami memohon ampun kepadamu Mbu’i Bungale, kami mengaku salah, engkaulah pemilik tempat ini beserta isinya!” Mbu’i Bungale turun dari pohon kayu dan datang membawa tudung serta mustika yang ada di dalamnya lalu meletakkan di atas tangannya, seperti telur itik putih mulus mustika itu. Dengan kekuasaan tuhan, menetaslah mustika itu dan keluarlah seorang gadis kecil yang sangat cantik seperti bulan bercahaya. Gadis itulah yang kenudian dikenal dengan nama Tolango Hula yang berasal dari Tilango lo Hulalo (cahaya bulan). Tilango Hula inilah yang kelak dikemudian hari menjadi raja Limboto.
Ketika Mbu’i Bungale dan suaminya bersiap kembali ke rumahnya sambil membawa sigadis kecil dan mengajak keempat orang itu, sejenak ia melayangkan pandangannya ke tengah danau yang baru saja diciptakannya. Tiba-tiba ia melihat lima benda terapung-apung yang bentuknya seperti buah. Diraihnya buah-buah itu dicubitnya dan kemudian diciumnya, baunya sangat harum. Setelah menciumnya ia merasakan bau itu seperti bau buah jeruk (limau/lemon) yang ada di negeri kayangan. Ia kemudian memandang sekeliling danau itu kalau-kalau ada pohon jeruk tumbuh di sekitarnya. Ia memanggil suaminya Jilumoto untuk memastikan, “Kanda, perhatikan bukankah buah ini seperti jeruk kayangan, aku merasa yakin akan hal itu dari bau dan bentuk buahnya!” Suaminya mendekatinya, ikut memegang dan mengamati buah itu dan kemudian mengiakan apa yang dikatakan isterinya. Mbu’i Bungale kemudian berkata, “Heran aku, bukankah tidak ada pohon jeruk yang tumbuh di sekitar tempat ini, mengapa buah jeruk ini bisa muncul di danau ini, mungkin ini suatu anugerah yang diberikan Tuhan Yang Maha Kuasa. Kejadian ini perlu diabadikan sebagai nama danau ini. Danau ini sesuai dengan kejadian yang kita saksikan barusan pantas untuk diberi nama Bulalo lo limu o tutu (danau dari jeruk yang berasal dari kayangan)”. Lama kelamaan akhirnya danau ciptaan Mbu’i Bungale ini lebih dikenal sebagai “Bulalo lo Limutu”.

Bangunan Sejarah

Benteng Otanaha
Sekitar abad ke-15,dugaan orang bahwa sebagian besar daratan Gorontalo adalah air laut. Ketika itu,Kerajaan Gorontalo di bawah Pemerintahan Raja Ilato, atau Matolodulakiki bersama permaisurinya Tilangohula (1505–1585). Mereka memilik tiga keturunan, yakni Ndoba (wanita),Tiliaya (wanita),dan Naha (pria).Waktu usia remaja,Naha melanglang buana ke negeri seberang,sedangkan Ndoba dan Tiliaya tinggal di wilayah kerajaan.
Suatu ketika sebuah kapal layar Protugis singgah di Pelabuhan Gorontalo Karena kehabisan bahan makanan, pengaruh cuaca buruk, dan gangguan bajak laut.
Mereka menghadap kepada Raja Ilato. Pertemuan tersebut menghasilkan sebuah kesepakatan, bahwa untuk memperkuat pertahanan dan keamanan negeri, akan dibangun atau didirikan tiga buah benteng di atas perbukitan Kelurahan Dembe, Kecamatan Kota Barat yang sekarang ini, yakni pada tahun 1525.
Ternyata, para nakhoda Portugis hanya memperalat Pasukan Ndoba dan Tiliaya ketika akan mengusir bajak laut yang sering menggangu nelayan di pantai.Seluruh rakyat dan pasukan Ndoba dan Tiliaya yang diperkuat empat Apitalau, bangkit dan mendesak bangsa Portugis untuk segera meninggalkan daratan Gorontalo.Para nakhkoda Portugis langsung meninggalkan Pelabuhan Gorontalo.
Ndoba dan Tiliaya tampil sebagai dua tokoh wanita pejuang waktu itu langsung mempersiapkan penduduk sekitar untuk menangkis serangan musuh dan kemungkinan perang yang akan terjadi.Pasukan Ndoba dan Tiliaya,diperkuat lagi dengan angkatan laut yang dipimpin oleh para Apitalau atau ‘kapten laut’, yakni Apitalau Lakoro, Pitalau Lagona, Apitalau Lakadjo, dan Apitalau Djailani.
Sekitar tahun 1585, Naha menemukan kembali ketiga benteng tersebut. Ia memperistri seorang wanita bernama Ohihiya.Dari pasangan suami istri ini lahirlah dua putra, yakni Paha (Pahu) dan Limonu.Pada waktu itu terjadi perang melawan Hemuto atau pemimpin golongan transmigran melalui jalur utara. Naha dan Paha gugur melawan Hemuto.
Limonu menuntut balas atas kematian ayah dan kakaknya. Naha, Ohihiya, Paha, dan Limonu telah memanfaatkan ketiga benteng tersebut sebagai pusat kekuatan pertahanan. Dengan latar belakang peristiwa di atas,maka ketiga benteng dimaksud telah diabadikan dengan nama sebagai berikut. Pertama, Otanaha.
Ota artinya benteng. Naha adalah orang yang menemukan benteng tersebut. Otanaha berarti benteng yang ditemukan oleh Naha.
Kedua,Otahiya. Ota artinya benteng. Hiya akronim dari kata Ohihiya, istri Naha Otahiya, berarti benteng milik Ohihiya. Ketiga Ulupahu.Ulu akronim dari kata Uwole,artinya milik dari Pahu adalah putera Naha.Ulupahu berarti benteng milik Pahu Putra Naha.
Benteng Otanaha, Otahiya, dan Ulupahu dibangun sekitar tahun1522 atas prakarsa Raja Ilato dan para nakhoda Portugis.
Benteng Orange
Objek wisata Benteng Oranye (Orange Fortress) merupakan salah satu peninggalan bersejarah yang terdapat di Kecamatan Kwandang, kurang lebih 61 km dari Kota Gorontalo. Benteng ini dibangun oleh bangsa Portugis pada abad ke-17. Benteng ini berukuran panjang 40 meter, lebar 32 meter, dan tinggi 5 meter (40x32x5 meter).
Monumen Nani Wartabone
Monumen Nani Wartabone dibangun sekitar tahun 1987 pada masa pemerintahan Drs. A. Nadjamudin, Walikotamadya Gorontalo. Monumen ini terletak tepat di depan rumah Dinas Gubernur Provinsi Gorontalo saat ini .
Nani Wartabone adalah putra asli Daerah Gorontalo, yang telah banyak mengabdikan diri sebagai pejuang bangsa dan negara, khususnya dalam gerakan patriotisme melawan penjajahan Belanda.
Gerakan patriotisme Rakyat Gorontalo di bawah pimpinan Nani Wartabone, dengan menggunakan taktik dan strategi perjuangan mampu mengusir bangsa penjajah, Belanda, dari Bumi Kerawang, Gorontalo. Perjuangan rakyat Gorontalo yang patriotik mencapai klimasnya pada tanggal 23 Januari 1942, menjadi satu-satunya daerah di Indonesia yang mampu memproklamasikan kemerdekaan RI dari Bumi Gorontalo, lepas dari cengkeraman penjajahan Belanda.
Jiwa patriotisme yang tumbuh dan terpelihara sejak abad ke-17, berpuncak pada patriotisme 23 Januari 1942, merupakan batu-batu kerikil yang dipersembahkan rakyat Gorontalo dalam batas-batas kemampuannya dalam pembangunan Republik Indonesia yang lahir pada tanggal 17 Agustus 1945.
Jiwa patriotik tersebut muncul dan tumbuh terus pada masa kekuasaan Jepang, serta terus dibina dan diwariskan kepada generasi sekarang.
Monemen Nani Wartabone dibangun untuk menghomati jasa Pahlawanan Perintis Kemerdekaan Nani Wartabone, asal Gorontalo, dan mengingatkan masyarakat Gorontalo akan peristiwa bersejarah 23 Januari 1942, dengan harapan hasil perjuangan itu akan tumbuh dalam jiwa generasi sesudahnya untuk membangun Indonesia tercinta ini dalam mengisi kemerdekaan.

Senin, 27 Mei 2013

Kisah Cerita Pendek

Kisah seorang anak yang DIABORSI DI DALAM RAHIM IBU
Bulan 1: Ma, panjangku itu cuma 2 cm, tapi aku udah ada di badan mama... aku sayang mama, bunyi detak jantung mama itu jadi musik terindah yang menemaniku di sini.
Bulan 2: Ma, aku uda h bisa ngisep jari imutku lho, di sini hangat ma, nanti kalau aku sudah keluar mama janji ya mau main sama aku.
Bulan 3: Ma, meskipun aku belum tau jenis kelaminku, tapi apapun aku, aku harap mama dan papa bahagia kelak ketika aku keluar. Jangan nangis ya ma, kalau mama nangis di sini aku juga ikut nangis.
Bulan 4: Ma, rambutku sudah mulai tumbuh lho, ini jadi mainan baruku, aku bisa menggerakan kepalaku putar kiri putar kanan.
Bulan 5: Ma, mama tadi ke dokter ya, dokter bilang apa? Αpa itu aborsi ma? Αku nggak diapa-apain kan ma?
Bulan 6: Mama datang ke dokter itu lagi ya? Ma, tolong kasih tau dokter itu, aku di sini baik-baik aja! Tapi kok dokter itu mulai memasukan benda tajam? Benda tajam itu mulai memotong rambutku ma tolong, aku takut. Benda tajam itu mulai memotong kakiku, sakiit ma. Tapi meskipun aku tidak punya kaki, aku masih punya tangan yang bisa memeluk mama. Ma, benda itu sekarang mulai memotong tanganku, mama tolong aku. Aku janji nggak akan nakal ma.
Tapi, meskipun aku tidak punya tangan dan kaki, aku msh punya mata dan telinga untuk melihat senyum mama, mendengar suara mama, tapi.. Benda itu sekarang sudah mulai memotong leherku, mama.. Ampun ma.. Beri aku kesempatan hidup, aku sayang mama, aku pengen meluk mama.
Bulan 7: Ma, aku di sini baik-baik aja, aku udah sama Tuhan di surga, Tuhan mengembalikan semua organ tubuhku yang dipotong benda tajam itu, Tuhan memeluku, memegang tanganku, menggendongku dengan lembut dan Tuhan membisikan tentang apa itu aborsi.
Kenapa mama tega melakukan itu? Kenapa mama nggak mau main sama aku? Αpa salah aku ma? Mama taubat yah, biar Tuhan mau antar mama ke sini, nanti kita main bareng-bareng di sini, dan jangan lupa, ajak papa juga ya ma.
PANTASKAH SEORANG BAYI YANG BELUM SEMPAT TERLAHIR KE DUNIA INI MENDAPATKAN PERLAKUAN SEKEJI ITU DARI ORANG TUA KANDUNG NYA?
Na’udzubillahi min dzalik
Kisah Sepatu Dan Sandal Jepit
Disebuah toko sepatu dikawasan perbelanjaan termewah di sebuah kota, Nampak di etalase sebuah sepatu dengan anggun diterangi oleh lampu yang indah. Dari tadi dia Nampak jumawa dengan posisinya, sesekali dia menoleh ke kiri dan ke kanan untuk memamerkan kemolekan designnya, haknya yang tinggi.
Pada saat jam istirahat, seorang pramuniaga yang akan makan siang meletakkan sepasang sandal jepit tidak jauh dari letak sang sepatu.
“Hai sandal jepit, sial sekali nasib kamu, diciptakan sekali saja dalam bentuk buruk dan tidak menarik”, sergah sang sepatu dengan nada congkak. Sandal jepit hanya terdiam dan melemparkan sebuah senyum persahabatan.
“Apa menariknya menjadi sandal jepit?, tidak ada kebanggaan bagi para pemakainnya, tidak pernah mendapatkan tempat penyimpanan yang istimewa, dan tidak pernah disesali pada saat hilang, kasihan sekali kamu”, ujar sang sepatu dengan nada yang semakin tinggi dan bertambah sinis.
Sandal jepit menarik nafas panjang, sambil menatap sang sepatu dengan tatapan lembut, dia berkata “Wahai sepatu yang terhormat, mungkin semua orang akan memiliki kebanggaan jika memakai sepatu yang indah dan mewah sepertimu. Mereka akan menyimpannya ditempat yang terjaga, membersihkannya meskipun masih bersih, bahkan sekali-sekali memamerkan kepada sanak keluarga maupun tetangga yang berkunjung ke rumahnya”. Sandal jepit berhenti sejenak dan membiarkan sang sepatu menikmati pujiannya.
“Tetapi sepatu yang terhormat, kamu hanya menemaninya di dalam kesemuan, pergi ke kantor maupun ke undangan-undangan pesta untuk sekedar sebuah kebanggaan. Kamu hanya dipakai sekali saja. Bedakan dengan aku. Aku siap menemani kemana saja pemakaiku pergi, bahkan aku sangat loyal meski dipakai ke toilet ataupun kamar mandi. Aku memunculkan kerinduan bagi pemakaiku. Setelah dia seharian dalam cengkeraman keindahanmu, maka manusia akan segera merindukanku. Karena apa wahai sepatu? Karena aku memunculkan kenyamanan dan kelonggaran. Aku tidak membutuhkan perhatian dan perawatan yang special. Dalam kamus kehidupanku, jika kita ingin membuat orang bahagia maka kita harus menciptakan kenyamanan untuknya”, Sandal jepit berkata dengan antusias dan membiarkan sang sepatu terpana.
“Sepatu ! Sahabatku yang terhormat, untuk apa kehebatan kalau sekedar untuk dipamerkan dan menimbulkan efek ketakutan untuk kehilangan. Untuk apa kepandaian dikeluarkan hanya untuk sekedar mendapatkan kekaguman.” Sepatu mulai tersihir oleh ucapan sandal jepit.
“Tapi bukankah menyenangkan jika kita dikagumi banyak orang”, jawab sepatu mencoba mencari pembenar atas posisinya. Sandal jepit tersenyum dengan bijak “Sahabatku! Ditengah kekaguman sesungguhnya kita sedang menciptakan tembok pembeda yang tebal, semakin kita ingin dikagumi maka sesungguhnya kita sedang membangun temboknya”.
Dari pintu toko nampak sang pramuniaga tergesa-gesa mengambil sandal jepit karena ingin bersegera mengambil air wudhu. Sambil tersenyum bahagia sandal jepit berbisik kepada sang sepatu.
“Lihat sahabatku, bahkan untuk berbuat kebaikan pun manusia mengajakku dan meninggalkanmu”.
Sepatu menatap kepergian sandal jepit ke mushola dengan penuh kekaguman seraya berbisik perlahan “Terima kasih, engkau telah memberikan pelajaran yang berharga sahabatku, sandal jepit yang terhormat”.

Jumat, 03 Mei 2013

Kota Gorontalo

Kota Gorontalo adalah ibu kota Provinsi Gorontalo, Indonesia. Kota ini memiliki luas wilayah 64,79 km² (0,53% dari luas Provinsi Gorontalo) dan berpenduduk sebanyak 180.127 jiwa (berdasarkan data SP 2010) dengan tingkat kepadatan penduduk 2.719 jiwa/km². Kota ini memiliki motto “Adat Bersendikan Syarak, Syarak Bersendikan Kitabullah” sebagai pandangan hidup masyarakat yang memadukan adat dan agama.
Kecamatan
Sebelum tahun 2011 kota Gorontalo terdiri dari enam kecamatan, yaitu:
1. Kecamatan Kota Selatan,
2. Kecamatan Kota Utara,
3. Kecamatan Kota Barat,
4. Kecamatan Kota Timur,
5. Kecamatan Kota Tengah, dan
6. Kecamatan Dungingi.
lalu terjadi pemekaran wilayah pada Maret 2011, menjadi 9 kecamatan, yaitu:
1. Kecamatan Kota Selatan,
2. Kecamatan Kota Utara,
3. Kecamatan Kota Barat,
4. Kecamatan Kota Timur,
5. Kecamatan Kota Tengah,
6. Kecamatan Dungingi,
7. Kecamatan Dumbo Raya,
8. Kecamatan Hulonthalangi, dan
9. Kecamatan Sipatana.
Kelurahan
Kesembilan kecamatan tersebut terdiri atas 50kelurahan, 459 RW dan 1.302 RT. Penduduk kota pada tahun 2010 adalah 180.127 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk 2.719 jiwa/km².
Adapun data lengkap 9 kecamatan dan 50 kelurahan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Dumbo Raya, terdiri atas 5 kelurahan, yaitu: (1) Botu; (2) Bugis; (3) Leato Selatan; (4) Leato Utara; dan (5) Talumolo.
2. Dungingi, terdiri atas 5 kelurahan, yaitu: (1) Huangobotu; (2) Libuo; (3) Tomulabutao; (4) Tomulabutao Selatan;dan (5) Tuladenggi.
3. Hulonthalangi, terdiri atas 5 kelurahan, yaitu: (1) Donggala; (2) Pohe; (3) Siendeng; (4) Tanjung Kramat; dan (5) Tenda.
4. Kota Barat, terdiri atas 7 kelurahan, yaitu: (1) Buladu; (2) Buliide; (3) Dembe I; (4) Lekobalo; (5) Molosipat W; (6) Pilolodaa; dan (7) Tenilo.
5. Kota Selatan, terdiri atas 5 kelurahan, yaitu: (1) Biawao; (2) Biawu; (3) Limba B; (4) Limba U I ; dan (5) Limba U II.
6. Kota Tengah, terdiri atas 6 kelurahan, yaitu: (1) Dulalowo; (2) Dulalowo Timur; (3) Liluwo; (4) Paguyaman; (5) Pulubala; dan (6) Wumialo.
7. Kota Timur, terdiri atas 6 kelurahan, yaitu: (1) Heledulaa; (2) Heledulaa Selatan; (3) Ipilo; (4) Moodu; (5) Padebuolo; dan (6) Tamalate.
8. Kota Utara, terdiri atas 6 kelurahan, yaitu: (1) Dembe II; (2) Dembe Jaya; (3) Dulomo; (4) Dulomo Selatan; (5) Wongkaditi; dan (6) Wongkaditi Barat.
9. Sipatana, terdiri atas 5 kelurahan, yaitu: (1) Bulotadaa; (2) Bulotadaa Timur; (3) Molosipat U; (4) Tanggikiki; dan (5) Tapa.
Tokoh
Kota ini adalah tempat kelahiran Hans Bague Jassin, sastrawan Indonesia yang cukup terkenal. Selain sastrawan Hans Bague Jassin, pahlawan/tentara perintis Nani Wartabone juga lahir di daerah agropolitan ini.

Kota Kotamobagu

Sejarah
Kota Kotamobagu merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Bolaang Mongondow yang bertujuan untuk memajukan daerah, membangun kesejahteraan rakyat, memudahkan pelayanan, dan memobilisasi pembangunan bagi terciptanya kesejahteraan serta kemakmuran rakyat totabuan. Desa Bolaang terletak di tepi pantai utara yang pada abad 17 sampai akhir abad 19 menjadi tempat kedudukan istana raja, sedangkan desa Mongondow terletak sekitar 2 km selatan Kotamobagu. Nama Bolaang berasal dari kata "bolango" atau "balangon" yang berarti laut. Bolaang atau golaang dapat pula berarti menjadi terang atau terbuka dan tidak gelap, sedangkan Mongondow dari kata ‘momondow’ yang berarti berseru tanda kemenangan. Penduduk asli wilayah Bolaang Mongondow berasal dari keturunan Gumalangit dan Tendeduata serta Tumotoibokol dan Tumotoibokat, yang awalnya tinggal di gunung Komasaan (Bintauna). Pada abad ke 8-9, mereka menyebar ke timur di tudu in Lombagin, Buntalo, Pondoli', Ginolantungan sampai ke pedalaman tudu in Passi, tudu in Lolayan, tudu in Sia', tudu in Bumbungon, Mahag, Siniow dan lain-lain. Setiap kelompok keluarga dari satu keturunan dipimpin oleh seorang Bogani (laki-laki atau perempuan) yang dipilih dari anggota kelompok dengan persyaratan : memiliki kemampuan fisik (kuat), berani, bijaksana, cerdas, serta mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan kelompok dan keselamatan dari gangguan musuh. Mokodoludut adalah punu’ Molantud yang diangkat berdasarkan kesepakatan seluruh bogani. Mokodoludut tercatat sebagai raja (datu yang pertama). Sejak Tompunu’on pertama sampai ketujuh, keadaan masyarakat semakin maju dengan adanya pengaruh luar (bangsa asing). Perubahan total mulai terlihat sejak Tadohe menjadi Tompunu’on, akibat pengaruh pedagang Belanda diubah istilah Tompunu’on menjadi Datu (Raja). Tadohe dikenal seorang Datu yang cakap, sistem bercocok tanam diatur dengan mulai dikenalnya padi, jagung dan kelapa yang dibawa bangsa Spanyol pada masa pemerintahan Mokodompit (ayah Tadohe). Tadohe melakukan penggolongan dalam masyarakat, yaitu pemerintahan (Kinalang) dan rakyat (Paloko’). Paloko’ harus patuh dan menunjang tugas Kinalang, sedangkan Kinalang mengangkat tingkat penghidupan Paloko’ melalui pembangunan di segala bidang, sedangkan kepala desa dipilih oleh rakyat. Pada zaman pemerintahan raja Corenelius Manoppo, raja ke-16 (1832), agama Islam masuk daerah Bolaang Mongondow melalui Gorontalo yang dibawa oleh Syarif Aloewi yang kawin dengan putri raja tahun 1866. Karena keluarga raja memeluk agama Islam, maka agama itu dianggap sebagai agama raja, sehingga sebagian besar penduduk memeluk agama Islam dan turut memengaruhi perkembangan kebudayaan dalam beberapa segi kehidupan masyarakat. Pada tanggal 1 Januari 1901, Belanda dibawa pimpinan Controleur Anton Cornelius Veenhuizen bersama pasukannya secara paksa bahkan kekerasan berusaha masuk Bolaang Mongondow melalui Minahasa, setelah usaha mereka melalui laut tidak berhasil dan ini terjadi pada masa pemerintahan Raja Riedel Manuel Manoppo dengan kedudukan istana raja di desa Bolaang. Raja Riedel Manuel Manoppo tidak mau menerima campur tangan pemerintahan oleh Belanda, maka Belanda melantik Datu Cornelis Manoppo menjadi raja dan mendirikan komalig (istana raja) di Kotobangon pada tahun 1901. Pada tahun 1904, dilakukan perhitungan penduduk Bolaang Mongondow dan berjumlah 41.417 jiwa. Pada tahun 1906, melalui kerja sama dan kesepakatan dengan raja Bolaang Mongondow, W. Dunnebier mengusahakan pembukaan Sekolah Rakyat dengan tiga kelas yang dikelola oleh zending di beberapa desa; yakni : desa Nanasi, Nonapan, Mariri Lama, Kotobangon, Moyag, Pontodon, Pasi, Popo Mongondow, Otam, Motoboi Besar, Kopandakan, Poyowa Kecil dan Pobundayan dengan total murid sebanyak 1.605 orang, sedangkan pengajarnya didatangkan dari Minahasa. Pada tahun 1937 dibuka di Kotamobagu sebuah sekolah Gubernemen, yaitu Vervolg School (sekolah sambungan) kelas 4 dan 5 yang menampung lepasan sekolah rakyat 3 tahun. Ibukota Bolaang Mongondow sebelumnya terletak disalah satu tempat di kaki gunung Sia’ dekat Popo Mongondow dengan nama Kotabaru. Karena tempat itu kurang strategis sebagai tempat kedudukan controleur, maka diusahakan pemindahan ke Kotamobagu dan peresmiannya diadakan pada bulan April 1911 oleh Controleur F. Junius yang bertugas tahun 1910-1915. Pada tahun 1911 didirikan sebuah rumah sakit di ibukota yang baru Kotamobagu. Rakyat mulai mengenal pengobatan modern, namun ada juga yang masih mempertahankan dan melestarikan pengobatan tradisional melalui tumbuh-tumbuhan yang berkhasiat obat dan sampai sekarang dibudayakan secara konvensional. Sejak semula, masyarakat Bolaang Mongondow mengenal tiga macam cara kehidupan bergotong royong yang masih terpelihara dan dilestarikan terus sampai sekarang ini, yaitu : Pogogutat (potolu adi’), Tonggolipu’, Posad (mokidulu). Tujuan kehidupan bergotong royong ini sama, namun cara pelaksanaaannya agak berbeda. Penduduk pedalaman yang memerlukan garam atau hasil hutan, akan meninggalkan desanya masuk hutan mencari damar atau ke pesisir pantai memasak garam (modapug) dan mencari ikan. Dalam mencari rezeki itu, sering mereka tinggal agak lama di pesisir, maka disamping masak garam mereka juga membuka kebun. Tanah yang mereka tempati itulah yang disebut Totabuan yang dapat diartikan sebagai tempat mencari nafkah. Bila ada tamu yang bertandang pada masa kerajaan, biasanya disuguhi sirih pinang, tamu pria atau wanita terutama orang tua. Sirih pinang diletakkan dalam kabela' (dari kebiasaan ini diciptakan tari kabela sebagai tari penjemput tamu). Tamu terhormat terutama pejabat di jemput dengan upacara adat. Tarian Kabela sampai saat ini tetap lestari di bumi Totabuan. Tarian yang ada di Bolaang Mongondow cukup beragam diantaranya tarian tradisional yang terdiri dari Tari Tayo, Tari Joke', Tari Mosau, Tari Rongko atau Tari Ragai, Tari Tuitan; juga tarian kreasi baru seperti Tari Kabela, Tari Kalibombang, Tari Pomamaan, Tari Monugal, Tari Mokoyut, Tari Kikoyog dan Tari Mokosambe. Upacara monibi terakhir diadakan pada tahun 1939 di desa Kotobangon (tempat kedudukan istana raja) dan di desa Matali (tempat pemakaman raja dan keturunannya). Transmigran ke Bolaang Mongondow pertama kali datang pada tahun 1963 dengan jumlah 1.549 jiwa (349 KK) & ditempatkan di Desa Werdhi Agung. Para transmigran berikutnya ditempatkan di desa Kembang Mertha (1964), Mopuya (1972/1975), Mopugad (1973/1975), Tumokang (1971/1972), Sangkub (1981/1982), Onggunai (1983/1984), Torosik (1983/1984) dan Pusian/Serasi 1992/1993). lengkapnya lihat hal. 90. Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Bolaang Mongondow menjadi bagian wilayah Propinsi Sulawesi yang berpusat di Makassar, kemudian tahun 1953 berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1953 Sulawesi Utara dijadikan sebagai daerah otonom tingkat I. Bolaang Mongondow dipisahkan menjadi daerah otonom tingkat II mulai tanggal 23 Maret 1954, sejak saat itu Bolaang mongondow resmi menjadi daerah otonom yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri berdasarkan PP No.24 Tahun 1954. Atas dasar itulah, mengapa setiap tanggal 23 Maret seluruh rakyat Bolaang Mongondow selalu merayakannya sebagai HUT Kabupaten Bolaang Mongondow.
Kecamatan
Wilayah Kota Kotamobagu dibagi menjadi 4 kecamatan, yaitu:
Kotamobagu Utara terdiri atas:
1. Kelurahan Biga
2. Kelurahan Upai
3. Kelurahan Genggulang
4. Desa Bilalang 1
5. Desa Bilalang 2
6. Desa Pontodon
7. Desa Sia
8. Desa Pontodon Timur
Kotamobagu Timur terdiri atas:
1. Kelurahan Kotobangon
2. Kelurahan Tumubui
3. Kelurahan Sinindian
4. Kelurahan Matali
5. Kelurahan Motoboi Besar
6. Kelurahan Kobo Besar
7. Desa Moyag
8. Desa Kobo Kecil
9. Desa Moyag Tampoan
10. Desa Moyag Tudulan
Kotamobagu Selatan terdiri atas:
1. Kelurahan Motoboi Kecil
2. Kelurahan Mongondow
3. Kelurahan Pobundayan
4. Desa Poyowa Besar 1
5. Desa Poyowa Besar 2
6. Desa Tabang
7. Desa Bungko
8.Desa Kopandakan 1
9. Desa Poyowa Kecil
Kotamobagu Barat terdiri atas:
1. Kelurahan Mongkonai
2. Kelurahan Molinow
3. Kelurahan Mogolaing
4. Kelurahan Gogagoman
5. Kelurahan Kotamobagu
6. Kelurahan Mongkonai Barat